Friday, April 20, 2007

CENTURY

CENTURY




Perjalanan itu panjang.
Panjang bagaikan daun yang tak berujung untuk mengapai bulan.
Perjalanan yang tak seorangpun tau akan kemana.
Tapi aku tau.
Aku tau akan kemana perjalanan itu. Seperti air yang sengaja mengalirkan dirinya untuk menuju ke lautan,
Gemericik,
Tetes air hujan,
Gelombang yang besar
Dan juga banjir yang menghancurkan tempat orang-orang yang memang pantas hancur.
Aku melihat raungan orang yang mengemis ketika mereka tak menyadari bahwa mereka punya tangan untuk bekerja. Aku melihat duka pada orang yang tak mengenal cinta.
Cinta?
Ah itu dia! Ya cinta!
Sebagaian orang mengakui bahwa mereka mengenal cinta. Mereka merasakan cinta. Mereka sedang berada dalam cinta.
Aku ingat cerita Rama dan Sinta.
Begitu besar cinta Sinta kepada Rama sehingga walaupun Sinta dalam dekapan Rahwana, tetapi dia tetap menjaga kesucian tubuhnya dari sentuhan Rahwana. Benarkah demikian? Bagaimana kalau Rahwana memaksa? Bagaimana kalau Sinta diancam untuk dibunuh?
Begitu juga bagaimana apabila Sinta-Sinta yang berada dalam kehidupan masa kini juga berada dalam wilayah mencintai Rama tetapi berada dalam penjara Rahwana?
Apa yang akan dilakukan Sinta?
Tentu saja menjaga kesucian itu hanya untuk orang yang sangat dicintainya, untuk Rama sang cinta.
Pada saat seperti itu kadang tubuh bukanlah rasa. Raga bukanlah hati. Fisik manusia tidak bicara masalah cinta. Sang fisik dapat saja menipu untuk berpura-pura menjadi sang cinta, padahal sang hati yang mutlak adalah rasa itu sendiri sudah terjerat dengan janji suci sang jiwa yang selalu mengumandangkan cinta.
Kemarin aku bertemu dengan Sinta masa kini yang berada di bumi ini.
Aku menatap matanya.
Kulihat bahwa ia mencintai Rama dengan sangat. Dan aku tahu bahwa ia sedang berada dalam penjara Rahwana.
”Akan kemanakah engkau?” tanyaku.
”Aku akan mencari kekasihku,” jawab dia.
”Dimana dia?”
”Aku belum dapat memberi tahu kamu saat ini,” jawab Sinta masa kini itu.

Oh...
Bagitu rahasiakah tempat kekasihmu itu?
Sang Sinta sangat menyembunyikan kekasihnya berada dimana. Ia khawatir bahwa tempat itu akan diketahui banyak orang dan akan banyak orang yang datang kesana.
”Mengapa kamu takut tempat itu diketahui banyak orang?” tanyaku.
”Karena kenangan yang ada di tempat itu.”
”Kenangan?”
”Ya.”
”Kenangan apa?”
”Setiap orang yang tahu tempat itu pasti akan tertulari birahi yang ada.”

Oh..
Aku diam. Sedalam itukah sesuatu yang ada. Mengapa Sinta masa kini itu membawa kata birahi segala. Apa hubungannya birahi dengan cinta?
Aku melihat matanya. Memang penuh cinta. Kuulangi lagi menatap matanya. Sekali lagi memang penuh cinta. Luar biasa!
”Bisakah kau bisikkan padaku tempat itu?” tanyaku.
”Untuk apa?”
”Tulari aku dengan birahi itu!”

Oh..
Apa ada yang salah dengan diriku sehingga aku ingin ditulari dengan birahi sang Sinta?
Peralahan ada rasa yang mengalir.
Ada.
Jelas ada. Kurasakan ada.
Siapakah kamu Sinta?
Dengan diammu kamu bawakan rasa yang dalam untuk memahami sebuah perjalanan. Dengan diammu kamu bawakan aku memahami sebuah birahi yang dulunya tak pernah kurasakan. Dengan diammu kamu bawakan aliran nada yang bernyanyi tentang sabda-sabda suci.

Oh.....
Ketika kulihat burung yang kulihat adalah cinta,
Ketika kulihat daun yang kulihat adalah cinta,
Ketika kulihat matahari yang kulihat adalah cinta
Ketika kulihat tanah yang kulihat adalah cinta
Ketika kulihat darah yang kulihat adalah cinta,
Ketika kulihat ikan yang kulihat adalah cinta,
Ketika kulihat maut yang kulihat adalah cinta,

Perjalanan itu panjang. Memang panjang. Sangat panjang.
Sepanjang rasa cinta itu sendiri.
“Mengapa tak kau ceritakan tempat itu?” tanyaku lagi.
Sinta diam.
”Ada apa di tempat itu?” tanyaku.
”Tempat itu adalah tempat pertemuan kami,” jawab Sinta.

Oh...
Tempat pertemuan?
Setiap orang punya tempat pertemuan.
Setiap agama mempunyai tempat pertemuan.
Tempat pertemuan bersama Tuhan yang dengan pertemuan itu dapat menimbulkan kerinduan yang sangat dengan percumbuan denganNya.
”Aku bercumbu dengannya,” kata Sinta.
”Di tempat itu?” tanyaku.
”Ya, ditempat itu.”
”Percumbuan yang seperti apa?” tanyaku.
”Percumbuan yang hebat. Pecumbuan yang dahsyat! Percumbuan yang tak pernah sama sekali aku rasakan ketika aku bersama Rahwana.”
Aku melihat mata Sinta. Memang menampakkan sebuah kenikmatan yang sangat. Matanya memancarkan rasa sayang yang dalam, memancarkan cinta yang meluap. Dan yang pasti matanya memancarkan gairah yang menggelora.

Perjalanan itu sangat panjang.
Ternyata tidak demikian panjang ketika sebuah percumbuan yang dahsyat terjadi di tempat yang dirahasiakan oleh Sinta.
Maukah Sinta memberi tahuku dimana tempat itu?
Bercumbu dengan cinta adalah mengalunkan nada suci yang keluar bersama tartan-tarian tanpa tubuh. Tarian jiwa!
Sinta dan Rama menari dalam Jiwa mereka. Mereka mempersembahkan semua tarian itu dengan rasa yang ada. Dengan Jiwa yang bergerak. Dengan cinta yang bangkit dari tidurnya selama ini.
Bangun!
Bangkitlah dalam cinta. Hanya dengan itu engkau akan memahami sebuah perjalanan yang kelihatan tampak nyata ini. Hanya dengan bercumbu dalam rasa terdalam itulah cinta Sinta bertemu dengan cinta Rama.
”Masihkan kau sembunyikan tempat itu?”
Tempat itu adalah masa.
Tempat itu adalah abad
Tempat itu adalah saat ini.
Tempat itu adalah kejadian
Tempat itu adalah waktu itu sendiri
Tempat itu adalah diriku dan dirimu
Tempat itu adalah.....
Adalah....
”Adalah apa Sinta?”
”CENTURY”

Oh...
Aku terhenyak. Baru sadar. Baru bangun. Baru melihat. Baru merasakan.
Tentang semua yang ada dalam sebuah panggung kehidupan.
”Apa yang kamu sadari?” tanya Sinta.
”Dalam tempat itu,” kataku.
”Ada apa dalam tempat itu?”
”Ada Aku!”

Oh....
Saat rasa itu meledak, membahana, menggelegar, memancar, menari, meliuk....
Saat rasa itu tersadarkan. Sinta hilang.
Tidak kulihat dia lagi.
Tapi kini aku sadar siapa Sinta dan siapa Rama.
Cinta harus hadir untuk menyadari sebuah rahasia dalam alam semesta, karena rahasia itu sendiri ada dalam cinta.
Bagaimana mungkin hidup tanpa cinta sedangkan cinta itu sendiri yang membawa sebuah kehidupan.
Apakah mungkin percumbuan tanpa cinta sedangkan cinta menyebabkan percumbuan?

Oh...
Aku sadar.. aku sadar.. aku sadar.
Aku memang harus mengajak Sinta untuk pulang,
Bertemu dengan Rama
Walaupun aku tahu siapa Rama,
Oh.....
Bukankah Rama dan aku adalah sebuah persepsi saja?
Sinta sudah menjawabnya. Dia mengulangi lagi jawaban dari segala misteri alam raya ini... ” century”
Aku yakin karena dalam masa itulah aku ada
Karena dalam tempat itulah aku merasa
Dalam saat itulah indah itu ada
Dalam keadaan masa itu....
Percumbuan yang terjadi adalah Syahadat..
Percumbuan yang terjadi adalah Sholat.
Percumbuan yang terjadi adalah memuja
Percumbuan yang terjadi adalah persembahan,
Percumbuan yang terjadi adalah tarian kasih sayang Illahi...

Oh...
Oh....
Oh.....
Oh...
Aku menyadari itu semua dalam kasih sayang suciMu....


-Agung webe-

TUHANKU BUKAN TUHANKU

Tuhanku bukan Tuhanku




Tuhan??
Ah.. sebagai sebuah istilah kata itu merupakan kata yang biasa saja, karena setiap orang yang menggunakan istilah Tuhan pasti akan teringat dengan sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri.
Dan karena sesuatu itu lebih tinggi daripada dirinya sendiri maka ia tunduk dan hormat kepada hal yang lebih tinggi tersebut.
Apa itu?
Apa saja!
Sesuatu yang menguasai diri dan membelenggu jiwa sehingga jiwa tidak merdeka dan terbudak oleh sesuatu yang dirasai telah dihambai itulah yang dianggap berada lebih tinggi dari dirinya sebagai manusia.
Kita mempunyai sebuah pikiran yang kompleks. Dan ironisnya pikiran kompleks kita itu berkembang. Berkembang tanpa henti sampai pada titik puncaknya yang terlihat dari kacamata manusia sebagai kematian.
Kematian yang bagi manusia adalah berakhirnya fisik di alam raga, ternyata awal dari perjalanan pikiran sebagai rasa bebas dari penjara fisik yang kadang sangat membelenggunya.
Kita tidak merasa?
Tentu saja!
Kita memberlakukan agama sebagai penjara, bukan hal yang membebaskan.
Mengapa kita membicarakan hal seperti ini di alam terbuka bahkan di milis yang bagi sebagian orang terlihat sangat naif?
No guys!
Kita menyadari bahwa alam telah berkembang. Teknologi dengan pesatnya maju dan alam sekarang sudah sangat berbeda dengan alam pada jaman guru2 tasawuf pada jaman dahulu.
Hal tersebut memang hanya tergantung darimana kita memandang....
Ada yang bilang itu basiiii... so what??
Kalau kita mau jujur, bukankah yang diserukan oleh nabi Muhammad itu adalah hal basi?
Basi banget!
Coba tengok! Dari awal beliau berkata yang diserukan adalah Tuhan itu satu. Beliau mengingatkan terus tentang ego diri yang harus dimusnahkan sehingga beliau memberitahu sebuah cara yaitu sholat dan tafakur.
Basi bukan??
Bagi saya hal basi itu bukanlah sesuatu yang membosankan, karena itulah masalah mendasar bagi manusia. Sepanjang hidupnya baliau tidak bosan-bosan mengulang-ulang hal basi tersebut.
Sementara bagi kita hal-hal tersebut adalah basi, bagi seorang nabi memang menyadari bahwa tidak ada yang baru di alam ini. Yang ada adalah mengulang hal yang memang menjebak manusia dalam menyadari realita kebenaran.
Kebenaran yang mana?
Kebenaran itu relatif pak..... dan mungkin apa yang diselami ini bukan kebenaran sejati, tetapi kebenaran semu...
Ya, ketika kita menyadari bahwa pikiran kita selau mengandung unsur dualitas, kita tidak akan memperdebatkan lagi sejati dan semu, karena ada yang lebih penting daripada unsur dualitas tersebut..... yaitu melampaui dualitas pikiran kita selagi kita hidup!
Melampaui dualitas pikiran?
Ada yang alegi dengan istilah melampaui dualitas ini? Ya, istilah yang lain adalah Bersyahadat! Mengapa bersyahadat? Ketika kita berani memahami bahwa tidak ada sesuatu yang lain di alam raya ini selain Tuhan itu sendiri, selesai sudah perdebatan tentang sejati dan semu atas sebuah kebenaran.
Yang terjadi?
Kita tidak berani memahami bahwa Allah-lah yang ada satu-satunya di alam raya ini sehingga kita memunculkan pikiran-pikiran kita sendiri, asumsi kita sendiri, argumen kita sendiri.
Tapi bukankah tulisan ini dibuat atas dasar pemikiran, asumsi dan argumen?
Seratus persen benar!
Yang jadi fokus kita adalah apakah sebuah pemikiran, asumsi dan argumen itu dikeluarkan untuk memaksakan sebuah paham kebenaran atau tidak?
Ketika sebuah tulisan/pemikiran dikeluarkan untuk berbagi, kita masih menyadari adanya dualitas dan kebenaran di seberang sana. Kebenaran dalam diri setiap orang, kebenaran dalam sebuah pemahaman lain.

Perkembangan kesadaran tentang sebuah pemahaman tentang Tuhan, adalah hal unik yang selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Pemahaman Tuhan waktu kita kecil sudah sangat berbeda dengan pemahaman kita tentang Tuhan waktu remaja.
Demikian juga pemahaman waktu remaja sudah sangat berbeda waktu kita bekerja, berkeluarga, banyak belajar, banyak ngaji dan seterusnya....
Sehingga bisa terjadi bahwa pemahaman tentang Tuhan waktu malam ini akan berbeda dengan waktu kita esok hari. Detik ini dengan detik berikutnya...
Tulisan saat ini dengan tulisan berikutnya...
Pemahaman Tuhan adalah pemahaman inkonsistensi..
Pemahaman agama adalah pemahaman inkonsistensi..
Islam adalah inkonsistensi karena dia berkembang terus seiring dengan kesadaran manusia.
Untuk mengimbangi inkonsistensi kesadaran tersebut kemudian ada cara untuk bertafakur, ada cara sholat sehingga bagi sebagian orang inkonsisten tersebut terlihat seperti konsisten. Mengapa? Seperti kalau kita berada dalam pesawat terbang dan tidak merasakan pesawat yang berkecepatan 830km/jam itu.
Karena kita berada dalam alam yang inkonsisten maka ketika kita mengikuti kesadaran yang inkonsisten akan terasa seperti diam saja.
Tuhanku bukanlah Tuhanku.
Ternyata setelah kita menyadari bahwa oh, yang saya kenal sebagai tuhan waktu kecil bukanlah seperti saat sekarang saya memahami Tuhan itu sendiri. Tapi anak kecil tersebut tidaklah salah karena memang proses perjalanan jiwanya untuk sebuah pemahaman sedang dalam perjalanan yang terus berubah.
Ternyata Tuhanpun berubah!
Wow! Jangan gusar dengan itu.
Satu-satunya yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Semuanya sedang berkembang. Apa yang ada di alam raya ini sedang mengalami ekspansi.
Yang ada di alam raya ini termasuk pikiran manusia mengalami ekspansi.
Ketika kita berkata bahwa kita menyatu dengan Tuhan, artinya kita menyatu dalam perubahan itu sendiri.
Kita melebur dalam perubahan alam semesta.
”Kehidupan adalah sebuah perkembangan yang harus diselesaikan, bukan kemapanan yang harus dipertahankan”.... (agung webe)
Tuhanku bukanlah Tuhanku.
Ketika kesadaran itu menyelimuti dalam benak kita, ada satu stimuli yang akan mendorong kita untuk lebih memahami arti kata Tuhan itu sendiri. Ada satu kegusaran yang menyadarkan kita bahwa ekspansi kesadaran dalam pikiran tidak bisa ditunda lagi.
Jadikanlah agama sebagai alat untuk membebaskan jiwa dari belenggu pikiran yang menjadikan kita berhenti dari ekspansi kesadaran.
Mau tetap masak pakai tungku dan arang? Kalau memang memudahkan kita memasak pakai kompor gas dan oven, apa yang salah?
Yang jelas yang menjadikan masalah untuk matangnya sebuah masakan bukanlah alat tungku atau kompor, tetapi rasa panas yang dihasilkan oleh keduanya.
Rasa panas itulah kebenaran yang dipakai oleh tungku dan kompor atau oven. Ketika ia hinggap di tungku kita mengenalnya sebagai tungku. Ketika ia hinggap di kompor kita mengenalnya sebagai kompor. Ketika ia hinggap di oven, kita mengenalnya sebagai oven.
Tuhanku bukanlah Tuhanku.
Ketika rasa Tuhan itu bersemayam dalam setiap jiwa yang berbeda, ia akan mengambil alih wujud yang berbeda dalam pemahaman rasa itu sendiri.
Melebur dalam ekspansi kesadaran adalah menyatu dengan rasa Tuhan, bukan sekedar namaNya atau wujudNya di alam raya ini.
Tuhanku bukanlah Tuhanku bukan bermaksud untuk menyangkal rasa terdalam dari pemahaman tentang Tuhan.. tetapi yang patut kita sangkal dari diri kita adalah ketika kita mati dan berhenti dalam ber-ekspansi memahami Tuhan itu sendiri.
Ekspansi itu akan terus terjadi sepanjang kita belum pulang ke sumber hidup kita. Ekpspansi raga-pikiran-jiwa dan roh adalah perjalanan yang harus kita alami dan sadari dalam melebur dalam satu-satunya yang abadi di dunia ini, yaitu perubahan!


Agung webe

TUJUAN

TUJUAN




Dari seorang guru yang sangat saya kagumi, Jalaluddin Rumi dalam kitabnya, Fihi Ma Fihi.
Rumi menuliskan,
Akar materi adalah tujuan yang diharapkan, sedangkan kata-kata, konsep hanyalah cabang dari tujuan itu. Jika ia belum diarahkan untuk tujuan itu, seseorang tidak akan menangkap akar dari tujuan.
Jika tujuan sejati kita tetap terlihat, kemenduaan atau dualitas menghilang. Dualitas menunjukkan cabang-cabang, tetapi akar tetap satu. Sama juga dengan syekh-syekh Sufi yang ada, meskipun penampilan mereka telah menunjukkan beragam gaya mengajar dan berbeda dalam pendirian sosial, bahkan berbeda dalam tindakan dan ucapan, tetapi dari titik pandang tujuan dan keimanan, mereka semua memiliki satu tujuan, yakni pencarian Allah dan cintanya.
Ambil contoh ; angin.
Ketika angin berhembus menembus sebuah rumah, ia menggerakkan karpet yang ada, menyapu daun yang berserakan, mengangkat kertas-kertas, menyibakkan rambut, menjatuhkan gantungan foto, menggerakkan kain penutup jendela. Semua kondisi itu tampak khas dan berbeda-beda. Kita bisa melihat sebagai perbedaan dalam taraf kulit luar syariat. Namun dari titik pandang objek, akar dan realitas, mereka adalah satu hal- yaitu gerakan angin!
Jika kamu temukan kesalahan dalam diri saudaramu, kesalahan yang kamu lihat dalam diri mereka ada dalam dirimu. Sufi sejati seperti sebuah cermin di mana kamu melihat bayanganmu sendiri. Karena itu, orang beriman adalah sebuah cermin bagi kawan-kawan beriman mereka. Hapuslah kesalahan-kesalahan itu dalam dirimu, karena apa yang mengganggu dalam diri mereka mengganggumu dalam dirimu sendiri.
Seekor gajah dibimbing menuju sebuah sumur untuk minum. Ketika melihat bayangannya sendiri dalam sumur, ia jadi menjauhkan diri. Ia berpikir bahwa ia sedang menjauhkan diri dari seekor gajah lain. Padahal, ia sesungguhnya menghindari diri sendiri. itulah sifat-sifat setan yang juga seperti koreng dan bisul. Ketika sifat-sifat itu ada dalam diri kita, mereka tidak menyebabkan rasa sakit dan menjijikkan. Tetapi ketika kita melihatnya pada orang lain, bahkan pada tingkatan kecil, maka kita merasa sakit dan jijik.
Di haribaan Allah, tidak akan ada dua aku. Kamu tidak mampu mengenal ke-akuanmu sendiri dan keakuan Allah. Jadi, matilah di depan Allah. Kamu harus mati di depan Allah agar Allah dapat mengungkapkan keakuan-Nya kepadamu, dan dualitas itu akan menghilang.
----------------------------------------------------------------------
Demikian, Rumi memberikan nasehat kepada kita tentang tujuan. Sebuah tujuan yang sama, bisa dipahami dengan cara berbeda karena tingkat pemahaman dan pengaruh-pengaruh kebudayaan, keterkondisian, pola pikir dan pendidikan. Namun itu bukanlah sebuah perbedaan yang mendasar. Karena esensi, akar dan realitas sebuah tujuan tidak akan berubah dan tidak akan pernah beda. Akar itu adalah Allah dan cinta sebagai realitasnya yang tak pernah pudar!

AGUNG WEBE

SYAHADAT

SYAHADAT




Dalam rukun Islam, Syahadat adalah rukun yang pertama. The first rule! Penempatan syahadat dalam urutan pertama sebelum sholat, puasa, zakat dan kemudian haji ini bukan tanpa sebab. Bukan pula kebetulan begitu saja yang diberikan oleh Allah lewat nabi Muhammad yang tercinta. Segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah rencana Allah. Segala peristiwa yang terjadi adalah rencanaNya. Tidak ada sesuatu yang terjadi diluar peraturanNya.
Al-An’aam (6) ayat 59, Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya , dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata ".
Karena Syahadat adalah aturan pertama, maka sesungguhnya ia memegang peranan kunci dalam pemahaman Islam. Seluruh tindakan dalam rukun-rukun selanjutnya sangat dipengaruhi oleh pemahaman dari syahadat ini. Islam yang mengajak untuk berserah diri total kepada Allah, hanya berpaling kepada Allah, hanya bersandar kepada Allah, sangat ditentukan oleh syahadat.
Mengapa kali ini kita merenung tentang syahadat? Karena kita lihat, banyak ulasan tentang sholat, puasa, zakat dan haji. Namun jarang sekali yang menyelami syahadat. Yang terjadi, syahadat hanya dijadikan sebagai sebuah formalitas pengukuhan akan keislaman seseorang. Seseorang, yang apabila sudah membaca syahadat, akan dinyatakan sudah Islam. Sungguh sebuah tindakan yang sangat formalistik.
Keadaan Islam, bukanlah keadaan formal yang bisa diukur hanya dengan pengucapan syahadat, hanya dengan tindakan sholat, dengan melakukan puasa dan dengan menunaikan haji. Namun ya, seluruh rukun Islam itu adalah sebuah metode untuk mencapai kepasrahan total kepada Allah. Hanya dengan melakukan rukun-rukun tersebut, seseorang akan dapat mengalami sebuah kepasrahan tanpa syarat. Sebuah kepasrahan yang tercipta karena kita menyadari bahwa kita akan kembali kepada Allah. Bukan karena ingin pahala, bukan juga karena takut neraka.
Surat Yunus (10) ayat 4, Hanya kepadaNyalah kamu semuanya akan kembali; sebagai janji yang benar daripada Allah....
Al Baqarah (2) ayat 46, orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
Asy-Syu’araa (26) ayat 50, Mereka berkata: "Tidak ada kemudharatan ; sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami,
Az-Zukhruf (43) ayat 14, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami".
Al-mukminuun (23) ayat 60, Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka ,
Bagaimana kita meyakini bahwa kita akan kembali kepada Allah? Orang-orang yang mengharapkan sesuatu, walaupun itu adalah juga sebuah tingkatan pemahaman, sebuah maqam, mereka belum meyakini bahwa nanti akan kembali kepada Allah. Bagaimana bisa? Ya, sangat bisa. Seseorang yang sudah meyakini bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah akan menyadari kefanaan dunia ini. Kesementaraan dunia ini.
Surat Muhammad (47) ayat 36, Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.
Syahadat adalah kesaksian. Dengan ber-syahadat, kita tengah menjadi saksi. Kita tidak hanya mengucapkan dengan bibir saja. Namun sadarilah bahwa kita sedang menyaksikan! Apa yang kita saksikan? Marilah kita renungkan kembali arti syahadat ini,
AKU BERSAKSI BAHWA TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH. DAN AKU BERSAKSI BAHWA MUHAMMAD ADALAH UTUSAN ALLAH.
Ketika kita bersaksi, bukankah kita telah melihat semuanya? Ketika kita bersaksi bahwa ada orang mencuri, kita harus bisa bertanggung jawab dan membuktikannya. Kalau kita tidak melihat orang mencuri, bagaimana bisa kita bersaksi tentang pencurian?
Bersaksi adalah tindakan yang berat. Kalau kita berkata, ‘saya bersaksi’, artinya bahwa kita sanggup membuktikan tentang kesaksian kita.
Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, artinya kita benar-benar menyaksikan keesaan Allah. Dengan penyaksian ini, kita benar-benar akan meyakini bahwa nanti akan kembali kepada Allah. Dengan penyaksian ini, sandaran kita hanyalah Allah.
Selama ini, benarkah kita telah bersaksi? Benarkah kita telah ber-syahadat dengan seluruh jiwa raga kita? Ataukah syahadat kita hanya sebatas mulut?
Ketahuilah, kesaksian yang hanya di bibir adalah saksi palsu! Apabila kita bersaksi dengan hanya membeo, kita telah menjadi saksi palsu!
Apabila kita mengatakan melihat dan bersaksi tentang pencurian, padahal kita tidak melihat dengan mata kepala sendiri dan hanya kata orang, kita telah menipu. Kita telah menjadi saksi palsu atas suatu peristiwa.
Dengan demikian, apakah kita selama ini tengah menjadi saksi palsu dalam Islam? Pentingnya syahadat adalah kesaksian merupakan gerbang utama dari Iman. Setelah kesaksian itu, rukun-rukun selanjutnya adalah implementasi dari kesaksian kita. Melakukan shalat, hanyalah karena penyaksian kita tentang Allah, shalat kita tentu saja karena Allah, bukan karena yang lain. Demikian juga dengan puasa, zakat dan haji.
Lalu bagaimana supaya syahadat kita bisa menjadi sebuah kesaksian? Bukan syahadat yang hanya diucapkan di bibir saja?
Nabi Muhammad adalah seorang saksi. Beliau telah menyaksikan keesaanNya.
Surat Al-Fath (48) ayat 8, Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
Jadi sahabat-sahabat yang dituntunnya untuk bersyahadat, akan menyaksikan pula tentang keesaan Allah. Mereka akan tertular kesaksian itu karena yang menuntunnya juga seorang saksi asli. Syahadat adalah sebuah virus, ia akan menular kalau yang menularkannya seorang yang telah bersaksi. Virus syahadat adalah sebuah virus kesadaran Islam.
Jadi, memang tidak semua orang bisa untuk menuntun ber-syahadat. Kalau hanya menuntun supaya orang mengucapkan syahadat, semua orang islam bisa melakukannya. Namun, menuntun orang untuk bersaksi, diapun harus sudah bersaksi. Seorang saksi, saksi keesaan Allah adalah orang yang selalu menerapkan dan meng-implementasikan sifat-sifat Allah dalam keseharian meraka. Mereka selalu melihat kebenaran di mana-mana. Selalu melihat tangan-tangan Allah bergerak menggerakkan semua peristiwa. Dalam setiap langkahnya, yang tertinggal hanyalah harum dan cahaya Illahi yang menerangi. Dalam setiap senyumnya, yang tampak adalah rahmatNya.
Mereka bisa saja tidak sepaham dengan orang lain, namun tidak berselisih. Mereka tidak akan berargumen dan adu pendapat, karena yang mereka lihat adalah kebenaran dalam semua sudut pandang.
Kalau saat ini kita belum bisa menjadi saksi, atau selama ini kita telah menjadi saksi palsu, carilah orang semacam itu. Carilah dia yang telah bersaksi dan menularkan kesaksiannya kepada kita. Mungkin orang semacam itu telah lama kita kenal, mungkin ia tersembunyi dan bukan seorang guru, mungkin juga penampilannya sederhana dan tidak menampakkan jubahnya.
Syahadat adalah penyaksian. Mengucapkan syahadat adalah bersedia menjadi saksi! Jadi tidak ada salahnya kalau kita memperbaiki syahadat kita sekarang juga, dan jangan katakan apa-apa kalau memang kita tidak menyaksikan apa-apa. Jangan jadi saksi palsu!

AGUNG WEBE

QURAN

QURAN






Al-Quran adalah kitab suci yang merupakan petunjuk umat manusia.
Al Baqarah ayat 2, Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
Al Baqarah ayat 185, bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda . Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan , maka , sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Hal mengenai petunjuk pernah kita renungkan bersama dalam topik PETUNJUK. Kali ini kita akan menyelami Quran sebagai kitab yang menerangi.
Ali Imran (3) ayat 138, ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
An Nuur (24) ayat 34, Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
Yaasin (36) ayat 69, Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quraan itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.
Saat seorang Nabi hadir, ia hadir dalam sebuah komunitas kaum yang sedang mengagung-agungkan sesuatu. Nabi Musa hadir dalam komunitas yang sedang menyenangi sihir. Maka Musa di berikan mu’jizat sejenis itu. Nabi Isa hadir dalam komunitas yang sedang menyenangi penyembuhan, maka Isa hadir dengan mu’jizat itu. Demikian juga dengan Nabi Muhammad. Muhammad hadir dalam komunitas kaum yang sedang menyenangi syair dan karya sastra, maka firman Allah hadir dalam bentuk kata-kata yang sangat indah. Namun Quran bukanlah karya sastra. Ia melebihi sastra yang ada. Kalaupun dikatakan sastra dalam arti tulisan, ya, ia merupakan sastra Illahi, tulisan Illahi.
Bagaimana tidak merupakan sastra Illahi, apabila seorang Muhammad yang melantunkannya itu adalah seorang buta huruf yang kenal baca tulis? Ya, sebuah sastra Illahi yang dipahami oleh seseorang lewat qalbu-nya, masuk dalam fuad-nya, sehingga seluruh jiwanya bergetar untuk melantunkan sastra itu. Muhammad tidak memerlukan pendidikan untuk itu. Ia tidak memerlukan kursus untuk itu.
Sastra Illahi yang kita kenal dalam bentuk Quran sekarang, hanya Nabi Muhammad-lah yang benar-benar tahu tentang tafsir dan pemahamannya, karena lewat beliau sastra itu mengalir. Pada jaman Muhammad masih hidup, masyarakat tidak terlalu kesulitan untuk bertanya tentang ayat-ayat yang tidak mereka pahami, karena pemegang kunci utama masih bisa mereka hubungi. Pada saat sekarang, quran memerlukan pemahaman yang jernih karena Sang Maestro sudah tidak ada. Pada setiap ayat, saat sekarang ini, setiap orang dapat melakukan tafsir pembenaran untuk melegalkan pendapatnya.
Bagaimana bisa seseorang melakukan tafsir untuk pembenaran?
Kita akan menyelami hal ini melalui pemahaman Quran sebagai penerang.
Quran adalah sebuah kitab suci. Kitab yang kalau kita artikan buku, maka quran adalah buku suci yang berisi sastra Illahi. Karena ia merupakan buku, maka sesungguhnya ia adalah barang mati tak ubahnya seperti buku-buku yang lain. Sampai di sini banyak yang akan gerah apabila quran dikatakan sama seperti buku-buku yang lain. Ingat, yang Maha Suci hanyalah Allah. Yang Maha Tinggi hanyalah Allah. Kita jangan terjebak untuk menuhankan hal selain Allah. Walaupun quran berisi sastra Illahi, firman Allah, tetapi jelas quran bukanlah Allah itu sendiri.
Quran akan menjadi barang mati tak ubahnya buku-buku yang lain kalau kita menempatkan quran dalam tempat yang tak terjamah dan hanya menjadi pajangan atau hiasan rak buku kita. Dengan posisi itu, quran tidak akan bisa menjadi alat penerang bagi manusia. Quran akan hidup apabila diberi nafas oleh manusia. Ayat-ayatnya akan bersinar apabila kita menyinari dengan hati kita.
Orang-orang yang tidak terang hatinya adalah orang yang hatinya tertutup oleh keinginan-keinginan dan tujuan-tujuan yang hanya akan menguntungkan dirinya sendiri atau kelompoknya. Ingat, Al quran adalah penerang umat manusia, petunjuk bagi umat manusia, bukan hanya untuk golongan tertentu dan hanya untuk umat Islam saja. Namun untuk umat manusia! Orang-orang yang hatinya tertutup untuk tujuan-tujuan tertentu inilah yang bisa menjadikan tafsir sebagai alat pembenaran bagi pendapatnya. Hasilnya, ayat quran yang seharusnya digunakan untuk mencari solusi dari kenyataan yang ada malah digunakan untuk berdebat, untuk adu dalil.
Memang, karena quran memerlukan sebuah pemahaman, maka pemahaman-pun akan bertingkat sesuai dengan taraf kesadaran seseorang saat itu. Bisa saja kita memahami quran hari ini, apabila kita ulangi pada bulan berikutnya pemahaman kita akan lain, akan meningkat lagi. Demikian seterusnya. Maka, sebuah pemahaman hendaknya digunakan untuk menapak dan mengembangkan perkembangan spiritual iman kita, bukan kita paksaan kepada orang lain. Orang lain tentu punya pemahaman sendiri sesuai tingkat kesadarannya.
Yang harus kita baca sebenarnya adalah quran yang ada dalam hati kita sendiri. Ayat yang ada dalam diri kita, juga yang ada di mana-mana.
Fushshilat (41) ayat 53, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quraan itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Adz Dzaariyat (51) ayat 21, dan pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?
Membaca quran dalam diri dan pada segala penjuru ini memerlukan sebuah pelita, sebuah alat penerang. Inilah fungsinya quran sebagai penerang. Ia akan menerangi dan memberikan petunjuk kepada kita untuk memahami ayat-ayat Allah yang tersebar di seluruh alam, juga dalam diri kita sendiri. Apabila hati kita tertutup oleh keinginan ego, maka quran tidak akan menjadi alat penerang, melainkan menjadi alat pembenaran.
Apabila lama kelamaan hati kita tersentuh oleh pelita, nantipun hati akan tertulari nyala pelita juga. Ia juga akan menyala. Setelah hati juga menyala, ia baru akan bisa menerangi hati yang lainnya, membantu memberi penerangan kepada hati yang lain. Inilah hati para Nabi, para Wali, dan para Guru.
Jadikanlah quran sebagai alat penerang sehingga kita bisa membaca ayat-ayat Allah yang tersebar di mana-mana, di segala penjuru alam. Jangan menjadikan quran sebagai sebuah buku mati yang hanya kita pandangi. Jangan pula mensucikan quran melebihi mensucikan Allah. Ayat-ayat dalam quran akan menjadi bermakna dan hidup apabila kita, manusia menyentuhnya dengan hati yang terbuka dan kesediaan kita untuk menelaah dan memahaminya. Membaca quran bukanlah hanya membeokan suara yang ada, namun membaca adalah kesediaan kita untuk ‘tersulut’ pelitaNya, yang akhirnya peneranganNya menerangi kita untuk membaca juga ayat-ayatNya yang tersembunyi di balik segala materi yang ada.
Sudahkah kita siap tersulut sebuah pelita yang menyala?
Kalau kita siap untuk tersulut, singkirkan segala kepentingan ego dalam diri. Penerangan itu bukanlah sesuatu yang akan menjadikan kita gencar untuk berdalil, bukan pula sesuatu yang akan kita gunakan untuk berdebat, bukan pula merupakan keyakinan mutlak yang tak terbantahkan. Kebenaran tunggal hanya milik Allah, hanya Dia yang Maha Suci adanya.
Namun, gunakanlah pelita itu untuk menerangi perjalanan kita, untuk memicu perkembangan spiritual iman kita. Penerangan itu akan semakin menerangi kita kepada sebuah jalan yang lurus, jalan yang akan membawa kita kembali kepada Allah.
Siapkah kita untuk itu?

AGUNG WEBE

PETUNJUK

PETUNJUK



Al-Quran dan Hadis adalah peta untuk menuju kepada Jalan yang lurus. Jalan yang lurus adalah jalan yang membawa kita kepada Allah. Kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Karena kita akan kembali ke Allah, maka kita perlu peta untuk memandu perjalanan kita. Sebuah perjalanan tanpa peta, dimana kita belum pernah berjalan di sana, kita akan kebingungan dan bisa tersesat. Namun sebuah peta tidak akan membawa kita ke tujuan kalau kita hanya memandangi peta itu, membaca peta itu, mengagungkan peta itu, tanpa kita beranjak dan berjalan mengikuti arah-arah dalam peta tersebut.
Demikian juga dengan Quran. Quran sebagai peta untuk memandu kita kembali kepada Allah tidak akan berarti kalau kita tidak pernah mengawali untuk berjalan! Kita tidak pernah berjalan karena kita hanya sibuk menghafal dalil-dalil sebagai bahan perdebatan, sebagai bahan pembenaran dari pendapat kita, kita hanya menjadikannya sebagai sebuah buku untuk memuaskan intelek kita. Juga menghafalkannya supaya tulisan kita atau omongan kita bisa dianggap berbobot dengan kutipan dalil-dalil tersebut. Sepanjang hidup kita lupa berjalan, kita lupa beranjak, karena asyik mengutak-atik dalil untuk berdebat!
Kalau hanya dengan membeo, menghafal dan mengutip ayat kita sudah bisa mendapatkan petunjuk jalan yang lurus, apa gunanya kita selalu disuruh untuk senantiasa berdoa supaya ditunjuki jalan yang lurus?
Contoh:
Kita mendapatkan peta dari Jakarta menuju ke Yogya lewat jalan darat. Dan kita bertujuan untuk bisa sampai ke Yogya. Apakah hanya dengan memegang peta itu dan melihatnya, bahkan mengahafal jalan-jalan yang ada kita akan bisa sampai ke Yogya? Tentunya tidak bukan? Kita harus mulai untuk berjalan. Mempersiapkan mobil, membawa bekal secukupnya, dan tentunya kemampuan kita membaca jalan-jalan yang di peta dan melihatnya di jalan yang sebenarnya.
Tidak tertutup kemungkinan kita akan menemui banyak perempatan yang membingungkan. Di sana kita harus bertanya kepada orang yang tahu jalan untuk menunjukkan jalan ke Yogya. Baru setelah kita memulai perjalan itu, kita akan sampai ke Yogya. Itu juga tergantung diri pribadi orang yang berjalan. Ada yang menempuhnya hanya 8 jam. Ada yang 12 jam. Bahkan ada yang 3 hari, karena bermalam di Semarang dan Purwokerto. Ada yang suka mampir untuk jajan, ada yang suka mampir di tempat wisata. Bahkan ada yang memutuskan untuk tidak meneruskan ke Yogya karena mendapatkan isteri di Cirebon. Godaan dan iming-iming selama perjalanan itulah yang menyebabkan kita lupa bahwa tujuan utama kita adalah ke Yogya.
Sesekali waktu ada orang yang karena melihat peta kita, dia memperingatkan kita untuk melanjutkan perjalanan ke Yogya, namun karena terjebak dengan kepuasan di jalan (masih menikmati makanan, tempat wisata, isteri di suatu kota) kita bahkan memarahi orang tersebut, mengatakan tidak sependapat, tidak seiman, keluar syariat, tidak setujuan dan seringkali malah mengatakan ‘gila’.

Demikianlah sebuah peta, kita tidak akan pernah sampai di tujuan peta kalau hanya berdiam diri dan tidak pernah beranjak.
Petunjuk untuk memahami peta itu adalah langkah kita untuk menelaah Quran-Hadis dan kesediaan kita membuka pintu hati. Namun walaupun petunjuk itu telah datang, kita tetap saja harus berjalan. Kita tidak akan pernah sampai kalau hanya men-dokumenterkan petunjuk yang kita dapat.
Kemudian Allah akan memberikan petunjuk itu sesuai tingkat kesadaran manusia-kita saat itu.
1. Petunjuk INSTINGTIF/NALURI
Naluri adalah kemampuan berbuat sesuatu tanpa belajar. Petunjuk ini ada dalam tingkat paling awal, yaitu dalam kesadaran hewan dan manusia primitif. Jika mengacu pada surat Al-Nahl (16):68, Insting ini adalah salah satu jenis wahyu, yaitu petunjuk dari Allah.
Contoh: - anak burung tidak perlu belajar terbang.
- anak tidak perlu belajar menyusui.
- Anak itik tidak perlu belajar berenang.
2. Petunjuk dari hasil belajar dan berlatih.
Petunjuk yang didapatkan dengan kegiatan, mencari dan mengkaji.
3. Petunjuk INTUITIF
Intuisi didapat dengan memberdayakan dan membersihkan Qolbu serta melatih Fuad sehingga bisa melihat dan membaca segala yang tersurat dan tak tertangkap oleh indra.
4. Petunjuk LUBBIYAH.
Ini adalah petunjuk yang lebih tinggi, lebih dari Intuitif. Lubbiyah merupakan paduan dari Rasio dan Intuisi. Quran menerangkan orang-orang yang masuk dalam tahap Lubbiyah ini disebut ‘Ulil Albab’. Mereka diberi kemampuan memahami ayat-ayat Allah baik tersurat maupun tersirat. Mampu memahami ayat-ayat mutasyabihat.
5. petunjuk LANGSUNG
Yaitu yang diberikan kepada Nabi dan Rosul. Para nabi dan rosul tidak perlu belajar untuk menyampaikan ajarannya. Ajaran itu langsung masuk dalam fuad mereka.


Sudahkah kita berjalan? Ataukah kita masih berdiam diri memandangi peta dan sibuk menghafalkan tanpa memulai untuk beranjak?

agung webe

PERMAINAN

PERMAINAN - ILUSI



Sungguh,untuk menyadari ke-dualitasan dalam pandangan akan sangat terasa sulit sekali. Apalagi kita hidup dalam dualitas itu sendiri. Sesuatu yang sulit dilakukan untuk menyadari keberadaan kita karena kita berada dalam keberadaan itu sendiri.
Seperti cerita ikan yang selalu mencari air padahal ia hidup dalam air. Ikan berada dalam air tetapi tidak menyadari keberadaanya sendiri seperti apa.
....... Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Al-Baqarah- 255)
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (An-Nisaa - 126)

Dualiatas adalah anggapan. Dualitas adalah pandangan. Dualitas adalah hijab. Hijab inilah yang harus kita buka melalui usaha-usaha, melalui doa, melalui tindakan pendekatan kepada Allah.
Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. (Fushshilat - 54)
Ada yang ragu terhadap pertemuan dengan Tuhan. Keraguan adalah dualitas. Dualitas inilah yang menyebabkan rasa keterpisahan- rasa jauh dari Allah. Padahal jelas-jelas diingatkan bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Maha meliputi, bukan sekedar meliputi, tetapi Maha Meliputi. Dengan menembus rasa dualitas diri, rasa keterpisahan diri, kalau Allah Maha Meliputi segala sesuatu di jagad raya ini, artinya kita hidup dalam Allah itu sendiri. kita berada dalam keberadaan yang menyebabkan kita hidup. Itulah sumber kehidupan manusia dan makhluk yang ada. Kita berada di dalam keberadaan Allah.
Lalu dualitas itu berkembang dalam diri manusia yang menyebabkan terjadinya pandangan ganda. Ada panas tentu ada dingin. Ada gelap tentu ada terang. Ada sakit tentu ada sembuh. Ada tinggi tentu ada pendek. Ada kuat tentu ada lemah. Ada baik tentu ada jahat. Begitu seterusnya.
Karena dunia ini adalah alam dualitas, maka tentunya kita tidak bisa melepaskannya begitu saja. Kita hidup dalam dualitas, maka kita mengalami dualitas itu. Ada kaya tentu ada miskin. Ada dermawan tentu ada pelit. Ada kyai tentu ada penjahat. Inilah alam dualitas.
Tatkala dualitas itu membungkus manusia dan menyebabkan apa yang ia pandang sebagai sebuah kebenaran, ia akan menjadi ilusi. Ilusi inilah yang kadang mengatakan bahwa hidup ini adalah nyata. Hidup ini adalah real dan benar-benar terjadi. Karena ilusi itu, kebanyakan manusia kurang bisa percaya adanya akhirat, adanya tempat kebahagaiaan kekal abadi tiada tara. Hidup ya dunia ini katanya.
Ilusi itu, dualitas itu yang menjadikan sebuah penilaian lahir dari diri manusia tentang KAFIR dan BERIMAN. Satu pihak mendualitaskan KAFIR kepada pihak lain. Satu pihak mendualitaskan BERIMAN kepada golongan tertentu.
Manusia sampai di sini terjebak dengan ilusi diri tentang pandangan dualitas!
Pernah juga dalam sebuah tulisan-tulisan saya, seseorang mengatakan kepada saya, “Pak, bapak inikan bukan ahli tafsir. Mengapa menafsirkan Quran semaunya sendiri. Ada caranya sendiri menafsirkan Quran. Bapak bukan ahli Quran.”
Betul, saya bukan ahli tafsir. Saya juga bukan ahli Quran. Saya tidak hendak menafsirkan sesuatu. Saya juga tidak akan meng-ahli-kan sesuatu. Yang saya lakukan adalah ‘penyelaman’. Menyelami untuk diri saya sendiri. Kalau kemudian saya menemukan mutiara yang bisa menentramkan-mendamaikan- dan juga menjernihakan untuk diri saya sendiri, tidak ada salahnya kemudian kalau saya sharing.
Dalam tulisan saya yang berjudul Quran, penyelaman kepada Quran adalah harusnya bisa menjadikan Quran sebagai rahmat bagi seluruh alam, bagi siapa saja. tidak milik orang tertentu dan ahli tertentu. Quran ada untuk seluruh umat manusia dan alam semesta.
Kembali kepada dualitas.
Dualitas hadir untuk menggulirkan kehidupan. Coba bayangkan dunia tanpa dualitas. Tidak ada sakit-tidak ada sembuh. Tidak ada panas-tidak ada dingin. Tidak ada gelap-tidak ada terang. Tentu bukan dunia ini lagi. Itulah alam tanpa dualitas. Alam ketuhanan dan didalamnya Allah berkehendak atas dirinya sendiri. Itulah alam penyatuan. Alam satu yang didalamnya tidak ada perbandingan.
Dikarenakan dualitas maka timbullah permainan dan sandiwara dalam kehidupan. Skenario sudah ditulis oleh Yang Maha Kuasa. Kita tinggal menjalaninya dengan penuh kesadaran dan iman.
Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala keppadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. (Muhammad - 36).
Kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Itulah gelombang dari dualitas. Dalam permainan tentu ada penilaian. Dalam sandiwara tentu ada baik-buruk, ada salah-benar. Juga ada dosa-pahala.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Al-Hadiid - 20).
Peringatan untuk manusia sudah sangat jelas bahwa dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Dalam tulisan saya, ALLAH dan EGO, banyak tindakan kita yang muncul oleh karena untuk menyenangkan ego. Ego kita puas karena sudah bisa memperingatkan orang yang kita anggap kafir. Ego kita puas karena kita menganggap sudah bisa membela agama. Apa yang kita lakukan menimbulkan kesenangan yang menipu. Tetapi kitapun akhirnya menipu diri sendiri dengan mengatakan, bahwa kita ikhlas karena Allah, kita berjuang untuk Allah.
Sedikit sekali yang berani mengakui bahwa itu adalah sebuah pembenaran.
Rasa ikhlas-tanpa pamrih, kalau itu benar-benar terjadi, tidak akan keluar dari perkataan. Apa yang keluar dari perkataan hanyalah rasa pembenaran dari kekuarangan kita karena anggapan yang ditimbulkan oleh rasa dualitas itu.
Secara psikologis, kita sering mengucapkan kata yang secara implisit merupakan pengakuan kita. Namun itu tidak terasakan.
Permainan dunia, apapun peran yang kita dapatkan memang harus kita mainkan sebaik-baiknya. Harus kita selesaikan cerita ini. Kita memainkan cerita ini dengan penuh rasa Iman dan Taqwa.
Apakah kita pernah berpikir bahwa seorang pemain sandiwara memprotes skenario dari sutradara? Dalam setengah permainannya, si pemain sudah bertanya, “Mengapa saya harus melakukan ini dalam cerita ini? Mengapa harus si A yang mati? Mengapa bukan daerah ini yang kena Bom?”
Apakah si pemain pikir dia lebih tahu daripada penulis skenario? Apakah sipemain lebih tahu daripada sutradara? Tidak bukan. Tugas seorang pemain adalah memainkan skenario dengan sebaik-baiknya, karena sang Sutradaralah yang memimpin sandiawara itu.
Dalam permainan sandiwara, seorang pemain harus mengesampingkan rasa dualitas. Dia harus berbakti kepada sutradara untuk bisa menyelesaikan sandiwara itu. Berbaktinya pemain kepada sutradara adalah Taqwa. Menjalani skenario dengan penuh ikhlas adalah Iman.
Dengan penuh kesadaran sebagai manusia yang juga notabene makhluk mulia. Marilah kita menyadari setiap detik dan jengkal bahwa kehidupan ini adalah ilusi, adalah maya yang harus kita lampaui sehingga yang kita temukan bukan kehidupan dunia melainkan keabadian kekal di sisi Allah.
Illusi kita adalah ilusi ikan yang mencari air. Dualitas dalam diri ikan menyebabkan ikan tidak menyadari keberadaan air yang meliputinya. Ikan terus mencari air. Akhirnya, karena ajakan kelinci yang berada di darat, ikan melompat ke darat untuk melihat air.
Ikan melepaskan diri dari kehidupannya, dari keberadaan yang meliputinya selama ini. Ikan mati karena itu. Ikan mati karena ingin melihat air yang selama ini tidak disadarinya. Walaupun sebenarnya ikan sendiri tidak pernah lepas dari sebuah keberadaan. Ia melompat dari keberadaan air menuju keberadaan udara. Ikan tidak akan pernah bisa lepas dari keberadaan yang meliputinya, dimana saja ia berada.
Masihkah kita seperti ikan? Mencari sesuatu yang sebenarnya meliputi kita? Rasa pencarian itulah ilusi terbesar manusia.

Agung webe

NOT THE TRUTH

NOT THE TRUTH!!
( BUKAN KEBENARAN )





Dengan keterbatasan bahasa yang kita punyai, kadang apa yang dirangkai dengan bahasa yang satu tidak tepat bagi bahasa yang lain. Hal itu terjadi karena intelek dan logika manusia hanyalah cermin pemantul bahasa yang kotor, kadang malah berantakan. Bahasa yang menjadi sarana intelek, yang konon bahasa ini berasal dari hati, ikut berperan dalam proses penghancuran cermin terakhir.
Dipandang dalam perspektif terakhir ini, dikotomi kebenaran dan ketidak benaran sebenarnya hasil pemerkosaan bahasa terhadap kejernihan dan kebeningan. Kalau kata teman saya, pak Usman, ini adalah pandangan individu terhadap sesuatu. Dan memang, sesungguhnya kita ini hidup di dalam belantara opini. Inilah ‘Jungle!!’ selamat datang di hutan! Ya, saya setuju karena kita hidup dalam belantara opini tadi.
Setiap orang mempunyai pandangan atau opini sendiri. Inilah Paradigma! Yaitu sebuah konsep yang telah kita jadikan tempat di mana kita berpijak. Maka tak heran tatkala seseorang mengemukakan pandangan terhadap sesuatu, banyak yang akan menolak karena tidak sesuai dengan konsep yang telah dianutnya.
Penolakan iniliah yang disebabkan oleh ego yang merasa terbakar, merasa pandangan atau konsepnya yang paling benar, sehingga cara dia memandang konsep lain itupun sudah dicampuri oleh pandangannya sendiri. Apapun yang dipandangnya yang tidak sesuai dengan apa yang pernah ia terima sebelumnya sudah pasti akan dibilang salah! Keluar atuaran! Terlalu logis! Terlalu filosofis! Dll....

Padahal yang diyakini sama, Allah SWT, Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, hanya kepadaNya kita bergantung, tidak ada satu makhluk-pun yang menyerupai Dia... Pegangannya juga sama, Quran dan Hadist!
Mengapa terjadi keramaian opini dan pandangan?
Yang pertama, dan ini yang paling lucu adalah karena ini adalah permainan! Ha ha ha ha.... ya gimana, panggung telah digelar, harus ada lakonnya. Harus ada yang jadi raja, ada yang jadi pegawai, ada yang jadi kyai, ada yang jadi ustad, ada yang jadi sufi............he he he...
Yang kedua, dan ini kelihatannya tidak terjadi di sini adalah karena gesekan Ego.
Yang ketiga adalah karena kita mensyukuri sisi-sisi lain dari kehidupan yang merupakan rahmat dan kekayaan kita semua. Wow! Indah bukan?

Sejauh ini kemudian saya melihat kembali tentang opini dan kerangka yang ada di otak saya. Wow! Ternyata yang saya tuliskan itu semua bukan Kebenaran!
Not the Truth!! Mengapa?
Karena kebenaran itu sendiri tidak bisa dirangkai dengan kata-kata. Tidak bisa dituliskan. Karena saking besar dan luasnya kebenaran itu, maka ketika keluar dalam bentuk kata-kata, itu akan mengecilkan kebenaran yang tentunya bercampur dengan opini dan pandangan pribadi. Bahasa lainnya telah terkontaminasi!
Jadi kalau kita semua sudah sampai pada kebenaran, semua akan diam. Lha gimana enggak lha wong kita semua ketemu di sana! Ngaji bersama! Dzikir bersama! Diam bersama merasakan kebenaran!
Nah, karena kita ini masih berkutat pada ketidak-benaran, maka muncullah banyak kata dan bahasa. Bahasa saya inipun bisa salah karena terbatasnya kata. Kalau saya katakan ketidak-benaran pasti juga banyak yang akan protes! Maksud saya ketidak-benaran bukan pada kebenaran itu sendiri, melainkan pada kerangka otak dan pikiran yang merangkai opini tentang sebuah kebenaran. Wah, gimana bahasa sederhananya ya? Ntar dikira filosofis, padahal saya tidak suka filsafat!!
Mengapa saya tidak suka filsafat???
Karena kalau seorang filsuf itu menemukan cinta, ia akan berfilsafat tentang cinta. Ia akan mengeluarkan kata-kata indah untuk cinta. Hanya itu!! Thats it!!
Kalau seorang pencari cinta menemukan cinta, ia akan bercinta!! Ia akan berhenti mengeluarkan kata-kata tentang cinta! Ia akan hanyut dalam cinta.
Seorang Nabi Muhammad adalah pencari cinta. Setelah bertemu dengan cinta, dari beliau mengalirlah Al-quran. Dengan lagu, dengan nada! Beliau akan menjadikan seluruh hidup ini bagaikan sebuah lagu yang indah. Beliau selalu melihat keindahan, walaupun dalam diri seorang musuh.
Untuk itu saya suka sekali dengan Nabi Muhammad.
Makanya saya tidak suka dengan filsafat, dengan para filsuf!!

Nah, kalaupun kemudian kita masih berselancar di hutan opini dengan mengatakan ketidak-benaran, itupun sah-sah aja.
Anything goes, begitu!
Karena ketidak-benaran itu makanya ada perintah IQRA!! Bacalah - lihatlah - berjalanlah.
Manaiki tangga, kita melalui tangga paling bawah. Waduh! Celakanya kalau ada orang yang naik gunung dan sudah sampai puncak kemudian mengatakan bahwa semua puncak gunung itu sama! Padahal dia baru naik satu gunung, sedangkan ada banyak gunung di sekitarnya. Wah! Penyamarataan itu yang bahaya!
Itulah bahayanya intelek dan logika. Saya setuju banget dengan itu. Teman saya juga mengatakan bahwa hati-hati dengan jalan yang selalu menggunakan logika, takut kepleset. Ya, saya juga setuju!
Nah, itu artinya kalau nanti ketemu sama teman-teman itu, saya akan berpelukan dengan mereka. Mungkin kita akan tertawa bersama menertawakan ketololan ini, ha ha ha ha..... Ternyata semua ini adalah...... ha ha ha..
Kemudian kita akan jamaah, ngaji atau dzikir bersama... oh indah bukan?

Kembali kepada ‘Not Truth’ tadi. Kalau ada yang bertanya, “Kebenaran itu seperti apa?”
Lalu si Abu Nawas akan menjawab, “Seperti saat kamu belum bertanya tadi!!”
“Lho kok bisa? Jangan bikin aku bingung!”
“Aku tidak membikin kamu bingung!”
“Abu Nawas! Jangan berfilsafat!!!”
“Aku tidak berfilsafat!”
“Sudah-sudah. Aku pengin tahu, kebenaran itu seperti apa??”
“Itulah, kamu sendiri yang menyebabkan kebenaran itu di-filsafatkan. Karena pertanyaanmu tadi maka timbullah banyak kata-kata.”
“Bukankah kita disuruh banyak bertanya???”
“Bukan. Kita disuruh banyak berpikir dan merenung!”
“Lalu???”
“Diam! Dan kerjakan apa yang Nabi kerjakan! Nanti pertanyaanmu akan terjawab dengan sendirinya!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

Lalu, kalau tulisan inipun ada sebagai ketidak-benaran, walaupun siang itu ada untuk mengantar datangnya malam, maka sebaiknya cepat-cepat di delete saja karena akan meracuni konsep pikiran anda yang sudah tertata.
Tapi jangan diam dulu!! Kalau kita diam seperti saran Abu Nawas tadi, pastilah dunia ini akan sepi........

Salam

Agung webe

NIETCHE

NIETCHE (dari sisi Tauhid)





Seperti permata, kita bisa melihat apa yang ditulis Nietche dari beberapa sisi. Setiap sisi pastilah mengandung sudut pandangnya sendiri-sendiri. biarlah hal itu menjadi kekayaan pandangan. Tidak ada yang salah, tidak ada yang benar mutlak.

Nietche yang saya kenal lewat tulisan-tulisannya memang seorang ATHEIS. Ya! Dia atheis mutlak! Tetapi apakah karena dia atheis kemudian kita akan menolak mentah-mentah? Bagi saya tidak. Nietche sedang berjalan. Kita juga sedang berjalan. Semua sedang berjalan. Apa yang diungkapkan seseorang pada saat itu adalah pandangannya saat itu. Bisa saja berubah esok hari atau lain waktu. Semua dalam proses perjalanan!
“Bis sedang melaju, jangan berhenti di satu pemberhentian bis, melajulah terus. Keep going,”

“Tuhan telah mati. Kitalah yang membunuhnya!” demikian kata Nietche.
Saya setuju dengan ungkapan itu! Mari kita lihat sisi Tauhid dari ungkapan itu!
Yang dimaksud Tuhan oleh Nietche bukanlah Tuhan yang Esa, bukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan yang dimaksud oleh dia adalah tuhan palsu yang sering diciptakan oleh manusia. Untuk menemukan, untuk merasakan, untuk menghayati Tuhan yang benar, Tuhan yang Maha Esa, tuhan palsu itu harus mati. Mengapa?
Ya, begitu banyak manusia yang menciptakan tuhan palsu. Ada tuhan jabatan, ada tuhan kuasa, ada tuhan uang, ada tuhan kedudukan, ada tuhan ketenaran, ada tuhan pikiran, ada tuhan pemahaman, ada tuhan konsep!
Semua itu harus mati! Kita harus membunuh semua konsep itu (Nietche mengatakan dengan bahasanya bahwa konsep itulah tuhan palsu. ini bahasa dia). Semua konsep buatan pikiran kita harus kita bunuh untuk menemukan Tuhan yang sebenarnya, Allah yang Maha Esa.
Sebenarnya Nietche sedang menyindir kita yang sering menduakan Tuhan secara tidak sengaja. Jabatan, uang, pemahaman, konsep yang kita jadikan seperti tuhan itulah yang harus kita bunuh!
Bukankah kita harus percaya bahwa tidak ada tuhan selain Allah? Bagaimana kita akan mamahami tauhid kalau konsep-konsep kita sendiri belum mati? Belum kita bunuh? Sadarkah kita bahwa kadang kita mempertahankan pendapat mati-matian seakan-akan itulah yang paling benar? Tidak sadar kita telah menciptakan tuhan konsep!
Nabi Muhammad saat itu juga harus membunuh pemahaman dan konsep yang salah tentang Tuhan. Beliau membabat habis konsep para kaum Jahiliyyah, para kafir Quraish. Beliau membunuh tuhan-tuhan palsu yang ada sehingga pemahaman tentang Allah yang Maha Esa bisa dimaknai oleh pengikutnya. Kalau saya katakan membunuh, bukan berarti dalam arti yang sebenarnya, tetapi mematikan pandangan tentang Tuhan yang salah.
Dalam kapasitas itu, saya melihat Nietche bukanlah seorang atheis sepanjang waktunya. Dia sedang berjalan menuju kepada Tauhid sejati. Hanya saja kapan pemahaman dia bisa dikatakan dalam bahasa yang tidak kontroversial, dalam bahasa yang tidak mendatangkan polemik, kita tidak tahu perjalanan batin seseorang.
Bagi saya, seorang sastrawan/filosof seperti Nietche bisa menggunakan bahasa seperti itu untuk menyindir kita yang mengaku telah ber-tauhid, yang mengaku telah ISLAM tetapi masih menyimpan konsep-konsep pemikiran yang kita dudukkan melebihi kebenaran Allah. Juga sindiran bagi kita yang masih mendudukkan uang, jabatan, ketenaran, nama baik, gengsi melebihi Allah itu sendiri.

Satu lagi sindirannya yang mengena bagi kita.
“Kalau ada tuhan yang bisa menciptakan apa saja, aku ingin menjadi tuhan!” kata Nietche.
Tidak sadarkah bahwa itu sebenarnya adalah sindiran bagi orang-orang yang merasa bisa berbuat apa saja dengan uangnya, dengan jabatannya, dengan kekuasaannya? Bukankah orang-orang seperti itu sudah menganggap dirinya tuhan? Harusnya kita malu dengan sindiran seperti itu dan tahu diri. Cepat-cepat memperbaiki diri sendiri. Bukan malah marah dan menghujat Nietche!
Kalau dalam bahasa Jawa ada istiliah “ngelulu”. Yaitu menyindir dengan membesarkan kepalanya. Itulah yang dilakukan Nietche. Dalam tradisi Jawa, orang yang “dilulu” ini juga kadang tidak merasa. Malah marah-marah dan menyalahkan orang yang “ngelulu”.
Kalau Nietche masih ada dan menanggapi orang-orang yang marah-marah padanya, mungkin dia akan meminjam ucapan Gus Dur, “Gitu aja kok repot!”
Karena banyak sekali manusia yang merasa dirinya menjadi tuhan, bisa melakukan apa saja dengan uang, pikiran ataupun kekuasaan, maka kata-kata yang “ngelulu” dari Nietche adalah, “aku ingin jadi seperti kamu! Enak kali ya bisa apa saja!”
Harusnya kita sadar dengan sindiran itu. Kemudian buru-buru sadar bahwa apa yang kita lakukan adalah salah dan cepat-cepat kembali kepada jalan yang benar, jalan Tauhid, jalan Islam.

Meminjam ucapan Nietche bahwa Tuhan telah mati, kitalah yang membunuhnya. Maka kali ini saya mendengungkan kembali apa yang telah dikatakan Nietche, tentu saja dengan bahasa saya sendiri untuk memicu keimanan dan mengoreksi sampai mana ketauhidan kita.
“Matikanlah konsep-konsep pikiran kita. Hanya dengan itu Allah Yang Maha Esa dapat kita pahami.”

Kalau kemudian ada yang berkata bahwa Nietche telah lahir kembal, Ya, Nietche masa kini telah lahir dan menyatakan dirinya Islam. Ha ha ha ha.... makanya dia meralat tulisannya pada masa lalu yang belum bisa dipahami oleh kebanyakan orang.
Nietche juga mengatakan, Be Proud being Moslem! Yo!
Ya, kebanggaan sebagai muslim yaitu tatkala kita telah membunuh konsep-konsep tuhan palsu yang secara tidak sengaja kita ciptakan. Uang, jabatan, kekuasaan, ketenaran, pemikiran, dll!
Lewat apa?
Lewat Sholat! bahwa sholat itu bukan hanya ritual fisik saja. ya, dengan penundukkan kepala, dengan sujud, menyentuhkan kepala ke tanah, itu sebagai tanda bahwa konsep-konsep pikiran kita telah kita leburkan serendah-rendahnya.
Di tanah suci sudah tidak ada lagi konsep lain. Semua sama dalam Ihrom. Konsep-konsep yang dibawa oleh manusia sebelumnya telah mati di sana! Kalaupun belum, harus dibunuh oleh kita sendiri. ya, siapa yang bisa membunuh konsep kita kalau bukan kita sendiri? Membunuh konsep itu dalam bahasa sederhana adalah membuka hati. Kalau ada yang alergi dengan kalimat membunuh konsep, ya pahami sebagai membuka hati. Sama saja, sami mawon!
Jadi jangan sampai disindir oleh Nietche, “Eh baru pulang haji kok mau menjadi tuhan, mau dong.....kan bisa apa saja!” ...malu kan?
Dengan terbunuhnya konsep pikiran selama haji, yaitu terbunuhnya ego, maka kembali ke Indonesia, sudah menjadi orang yang bijaksana dan berpandangan luas serta jernih!

Kemudian dengan Tauhid gaya Nietche ini, kita siap menerima Allah Yang Maha Esa. Kita siap ber-Syahadat!
Allahu Akbar!! Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!!

agung webe

NABI 2

NABI – 2




Para nabi yang pernah ada, tidak satupun yang pernah menulis kitab sucinya sendiri.
Tidak ada satu nabi-pun yang menulis sendiri wahyu yang pernah diterimanya.
Mengapa?
Kitab-kitab suci yang pernah ada itu ditulis oleh orang-orang dekatnya atau sahabat-sahabatnya. Dan itu terjadi setelah sekian tahun sang nabi wafat.
Apakah para nabi itu memang tidak menginginkan pelembagaan ajarannya?
Apakah para nabi itu tidak ingin ajarannya menjadi sebuah dogma?
Apa yang sebenarnya diinginkan oleh para nabi itu?

Yang jelas yang diinginkan oleh para nabi itu tidak sama dengan keinginan kita.
Mungkin sederhana saja dari sekian banyak wahyu yang turun dan ditangkap oleh para nabi itu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akherat.
Lantas,
Kita menginginkan apa? Banyak! Banyak banget! Seabrek-abrek! Sampai kita sendiri pusing dengan keinginan yang kita tafsirkan dari wahyu-wahyu yang diterima oleh para nabi itu.
Mungkin salah satunya adalah ingin menambah banyak umat yang kita anggap seumat dengan kita. Kita ingin mengatakan kebenaran sebenar-benarnya dari sudut kita sendiri yang kita anggap itu pahit bagi orang lain, tapi itulah kebenaran kita.
Dan itu terjadi dari orang-orang yang menafsirkan Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran. Kita sama-sama berlomba-lomba untuk menarik umat sebanyak-banyaknya.
Kemudian masing-masing dari kita memasang strategi perang baik dari segi intelektual, promosi-propaganda, tafsir ayat dan dialog antar agama.
Apakah dunia yang kita huni ini semakin nyaman? Semakin tenteram?
Apakah kita berani berpikir:
Bila seluruh manusia di dunia ini semua memeluk Islam, apakah kemudian akan menjadi aman tentram dan damai? Demikian juga bila seluruh manusia di dunia ini memeluk katolik atau yahudi?

Lalu, dengan tidak menulisnya para nabi atas wahyu yang diterimanya sendiri itu, apakah sang nabi menginginkan sebuah keseragaman di dunia?
Apa yang akan disampaikan oleh sang nabi tentang ini?
Mungkin ini adalah bagian yang kita lupakan. Kita lupa bertanya kepada sang nabi, kepada orang yang mempunyai hak mutlak atas wahyunya tersebut.
Kita lupa membawa master key dan memaksa masuk wilayah yang kita tidak tahu kemudian mengacak-acak bahkan memperkosanya!

Dan inilah kebenaran yang pahit terdengar. Walaupun pahit dan getir, sebuah kebenaran haruslah dikumandangkan. (meminjam ungkapan pak Budi)
“Ketika seorang Nabi mewartakan wahyu yang diterimanya, sang nabi tidak pernah menyuruh untuk mengabadikan dalam bentuk tulisan.”
Tidak ada nabi yang membuat bukunya sendiri.
Jadi karena saya menulis buku, artinya saya bukan nabi, he he he.. wua ha ha ha..

Atau kalau jaman nabi sudah ada milis dan sang nabi mewartakan wahyunya lewat internet dan ternyata panjang lebar bahkan bahasanya yang sangat sastra dan kiasan sekali. Kemudian mungkin akan dikomentari oleh pak Farhad dan disimpulkan menjadi satu atau dua kata saja oleh pak Farhad karena beliau ahli dalam menarik kesimpulan.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Memilah kelompok yang adakah? Itu orientalis, itu liberal, itu ahlusunnah, ini syiah, itu sunni, itu sinkretisme, itu tasawuf bidah…..
Atau tanggung jawab kita untuk memurnikan agama yang sudah diselewengkan?
Dan juga tanggung jawab kita untuk melindungi iman Islam dari serangan virus-virus aqidah yang mencoba memutar balikkan sejarah?
Atau jangan-jangan virus itu adalah kita sendiri?
Kita akan menjadi virus ketika kita merasa benar dengan penafsiran kita sendiri. Dan berucap kepada orang lain : “Ini sudah janji Allah dalam surat ini ayat sekian… “
Ya… mungkin satu orang melihat penafsiran itu demikian dan orang lain melihat penafsiran lain lagi.

Kalau sang nabi masih ada, kita tentu dapat bertanya langsung padanya, “Mengapa tidak kau tuliskan sendiri wahyu2 itu berikut dengan tafsirnya ya Nabi?”
Mungkin jawaban ngawurnya demikian,
“Aku tidak mau menjadi penulis karena royaltinya sedikit…..”
Sang Nabi tidak ada urusannya dengan tulis menulis. Wahyu itu mengalir begitu saja melalui dirinya. Beliau menangkap sinyal itu ketika menghadapi situasi dan masalah yang ada.
Atau ketika sebuah kitab suci ditulis oleh para sahabat seorang nabi menjadi sedih? Mengapa sedih? Karena yang keluar dari mulut nabi itu adalah penafsiran nabi atas getaran Allah. Getaran yang tidak mempunyai bahasa seperti bahasa manusia. Getaran Allah yang masuk ke dalam hati nabi dan menyebabkan nabi memahami sesuatu.
Karena nabi harus mengatakan kepada yang lain maka keluarlah susunan kata-kata yang mencoba menjelaskan getaran yang ditangkapnya itu.

Apakah apa yang ditangkap oleh Nabi itu persis kata-katanya seperti dalam kitab suci itu? demikian adanya?
Apakah sebuah getaran Illahi mempunyai susunan kata dalam bahasa manusia?

Sang nabi tidak menuliskan sendiri apa yang diwahyukan karena kita tidak siap dengan sebuah kebenaran. Nabi mengetahui bahwa faktanya manusia itu tidak akan siap dengan warta kebenaran yang gamblang dan jelas. Makanya segala sesuatunya masih ditaruh dalam perumpamaan, dalam cerita, dalam ayat yang penuh makna.

Kita tidak siap dengan sebuah kebenaran, makanya kita menutupinya dengan alibi dan argumen-argumen kita sendiri.
Kita senang berargument dengan pembenaran ayat ataupun hadist nabi. Kita sedang ber-hipotesa tentang sebuah kebenaran. Kita kadang mengatakan, “Ini bukan hipotesa, tapi kebenaran akan wahyu Allah?.... ya, disisi lain kita mengakui bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah. Lantas kita tidak mau dikatakan sedang ber-hipotesa??
Kalau kita mengakui bahwa realita tunggal itu hanya Allah semata, maka apa yang sedang kita jalani ini? Bentuk apakah kehidupan ini?

Mungkin alasan itulah sang Nabi tidak menuliskan sendiri wahyu yang diterimanya.
Karena….. beliau juga sedang ber-hipotesa dengan apa yang diwahyukan Allah padanya.
Bedanya dengan kita?
Sang nabi ber-hipotesa tentang realita tunggal…. Kita ber-hipotesa tentang sebuah hipotesa yang sudah ada.
Mengapa kita melakukan itu?
Karena kita senang berkutat di alam intelek, kita senang memuaskan ego dengan alibi dan argument….. sehingga kita lupa menyelami sang realita, kita lupa bertemu dengan sang maha benar… kita lupa mencicipi cinta sejati dan sang pemberi cinta.

Salam
Agung webe

NABI 1

NABI - 1





Apakah nabi seorang yang sempurna?
Apakah nabi seorang yang istimewa?
Apakah nabi orang pilihan?

Dalam pandangan ini, saya akan mengatakan bahwa nabi bukanlah orang sempurna, bukan orang istimewa dan bukan orang pilihan!
Apa tolok ukur sebuah kesempurnaan? Apa katagori istimewa? Apa kriteria pilihan?
Kalau berbicara tentang tolok ukur, katagori dan kriteria itu sangat tergantung dengan kebudayaan, pola pikir, cara pandang dan kehidupan atau pengaruh geografi masyarakat yang menetapkan itu semua.

Kalau kita berbicara tentang nabi Muhammad, apakah Al-quran itu lahir karena kesempurnaan, keistimewaan dan karena Muhammad itu termasuk orang pilihan?
Lantas apabila kemudian sebuah kebudayaan atau pola pikir masyarakat menganggap bahwa nabi Muhammad itu bukan sebagai manusia sempurna, bukan orang istimewa dan bukan orang pilihan, apakah kita lantas meninggalkan Al-quran juga?

Setiap orang punya potensi menjadi nabi ! setiap orang !
Begitu juga pada jaman nabi Muhammad, setiap orang yang ada pada jaman itu punya potensi kenabian yang sama, tidak lebih tidak kurang.
Lantas mengapa hanya Muhammad yang dapat menerima wahyu itu?

Kejadian menjadi seorang nabi bukanlah waktu yang tiba-tiba. Bukan seperti mie instant yang hanya diseduh lima menit lantas dapat dimakan. Maukah kita berpikiran terbuka untuk melihat sejarah Muhammad?
Apakah orang yang bernama Muhammad itu secara tiba-tiba menerima wahyu di gua hira tanpa upaya yang keras? tanpa usaha yang tekun? Tanpa kerja keras untuk belajar disiplin spiritual?
Muhammad adalah seorang pedagang yang sukses. Beliau sangat pintar dalam berdagang. Karena kepandaian dan kejujuran beliau maka beliau dikenal sebagai pedagang sukses.
Dalam berdagang kain, minyak wangi, karpet, beliau dan rombongan sering melintasi ‘jalur sutera’ untuk mengambil dagangan yang kemudian di jual di tanah kelahirannya.
Karena terpaan pengalaman dalam perjalanan yang selalu ditemani oleh paman beliau yang bernama Hamzah, yang juga sebagai guru spiritual beliau. (kalau anda setuju dengan ini)
Hamzah-lah yang mengenalkan Muhammad dengan tradisi agama Ibrahim, yaitu agama tauhid yang menyembah satu Tuhan. Komunitas Hamzah inilah yang dikenal dengan kaum Hanif, yang masih meneruskan tradisi Ibrahim ditengah kaum penyembah berhala di Mekah.
Komunitas ini selalu meluangkan waktu untuk bertahanuts, untuk bermeditasi, untuk berdiam diri mengundurkan diri dari keramaian masyarakat di gua hira.
Semakin bertambah umur, Muhammad semakin serius menapaki jalan spiritual dan semakin mantap untuk mengundurkan diri dari dunia bisnis. Beliau semakin banyak bermeditasi di gua hira dan menghindari hiruk pikuk sekitar untuk semakin mendalami spiritualitas dan kebenaran.
Upaya beliau sangat keras, usaha beliau sangat sungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran dan mendalami spiritualitas.

Bagi orang seperti Muhammad, yang dibutuhkan bukanlah teori yang dapat dibaca dari banyak buku. Bukan pula perdebatan yang sering dilakukan oleh petinggi agama pada jaman itu. Bukan pula rasa egois yang menganggap bahwa dirinya yang paling benar dan menyalahkan orang lain.
Beliau ingin mengalami sendiri spritualitas itu. Beliau ingin mengalami sendiri apa yang dinamakan kebenaran. Beliau ingin mengalami Tuhan!
Dan terjadilah hal tersebut!
Dengan pengalaman Muhammad, beliau tidak perlu perdebatan, tidak perlu pemaksaan sebuah kebenaran. Siapa yang melihat Muhammad akan tertular getaran Tuhan tersebut.
Beliau menjadikan dirinya sebagai sebuah contoh nyata bagi orang yang ingin mengalami sebuah kebenaran.

Dalam waktu itu, setiap orang diberikan kesempatan yang sama untuk mendengarkan wahyu. Bahkan sampai sekarang. Allah telah berfirman dan menyebar ke seluruh alam raya ini.
Tidak ada monopoli tentang siapa yang harus menerima wahyu ini. Seperti juga tidak ada monopoli tentang siapa yang berhak untuk memberikan tafsir sebuah ayat, walaupun itu orang yang kita kenal bukan beragama legalitas islam.
Mengapa tidak ada monopoli?
Apabila yang dikatakan tentang penafsiran tentang sebuah ayat tidak menyebabkan perpecahan, permusuhan, peperangan, tidak menyebabkan perselisihan, apakah hal tesebut ada yang salah?
Ataukah ini hanya monopoli dari para ustadz saja?

Allah tidak memilih seseorang untuk menjadi nabi. Allah membuka kesempatan yang sama! Setelah kesempatan dibuka untuk semua umat manusia, maka manusia itu sendirilah yang memilih pilihannya sendiri.
Apakah siap dengan tugas tersebut?
Manusia menetapkan pilihannya dengan upaya kerasnya, dengan disiplin spiritualnya untuk mengambil kesempatan yang diberikan Allah.
“Yang menjadikan seseorang sebagai orang pilihan adalah karena dia berani menetapkan pilihan bagi dirinya sendiri.”

Apakah orang seperti itu adalah orang istimewa?
Tidak!
Setiap orang dapat melakukan hal tersebut dan menjadi orang pilihan, tergantung upaya dan disiplin spiritualnya.
Orang itu akan menjadi istimewa ketika dia dapat mengalahkan rintangan spiritualnya dan mengekang hawa nafsunya untuk itu. Jadi istimewa bukanlah sebagai predikat namun pemaknaan dari sebuah proses.
Apakah nabi adalah manusia sempurna?
Ketika nabi yang seorang manusia telah menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggalkan fisiknya, itulah kesempurnaan.
Manusia sempurna adalah manusia yang telah siap untuk kembali ke asalnya dengan meniggalkan keterikatan fisiknya.

Kita semua punya potensi untuk menuju kesempurnaan, punya potensi menjadi manusia pilihan dan punya potensi untuk menapaki tahap jiwa yang istimewa.
Semua tergantung upaya kita dalam disiplin spiritual yang tentunya tidak hanya legal-formal saja.
Apakah anda atau saya berani menerima tawaran ini?
Ataukah kita hanya puas berhenti pada tahap pemuasan intelek dengan kepuasan dari buku-buku yang kita baca?
Atau lebih tololnya lagi, apakah kita hanya puas dengan berdebat dengan orang lain karena pemahaman yang kita anggap benar sendiri?

Beranikah kita menjadi seorang Muhammad? Berdiam diri di gua ‘hati’ dan mengalami sendiri tentang kebenaran tersebut?
Siapa tahu kebenaran itu tidak sama, atau bahkan sama sekali tidak sama dengan teori yang kita pelajari selama ini !
Siapa tahu kebenaran itu tidak sama seperti apa yang kita ototkan dengan urat selama ini?

Atau mungkin saja kita akan mendengar suara Allah seperti ini: “Heh,,,, mengapa serius sih? Inikan hanya permainan yang Aku gelar untuk meramaikan panggung dunia saja.”
“Lalu kebenaran itu seperti apa ya Allah?”
Hening. Tidak ada jawaban dari Allah…. Yang ada hanyalah kegelapan yang tetap menjadi misteri. Ya, Allah-pun diam ketika manusia bertanya tentang kebenaran, karena Allah sendiri menghindari perdebatan…..!

Tidak ada Nabi di dunia ini, dan jika ada
Maka sesungguhnya ia tiada.
Ia ada menurut kelangsungan esensinya, tetapi
Sifat-sifatnya padam dalam sifat-sifat Tuhan.
Ibarat cahaya lilin, ketika hadir mentari
Nyatanya ia tak ada, meskipun menurut
Hitungan angka ia ada.
Esensi api itu ada, sejauh seolah-olah engkau
Menaruh kapas di atasnya, kapas itu akan dilahapnya.
Tapi pada hakekatnya ia tiada, ia tidak memberi
Cahaya apapun karena matahari telah
Memudarkannya.
Ketika singa datang, kijang tak sadarkan diri,
Wujudnya hanyalah tirai baginya.

-(Jalaluddin Rumi)-

Salam
Agung webe

MERUNTUHKAN EGO

MERUNTUHKAN EGO
Mengapa tidak ?


Tidak ada yang hadir di dunia ini tanpa ego. Karena ego-lah maka segala sesuatu terjadi. Bila Tuhan juga tidak mempunyai Ego, maka ia tidak akan menciptakan drama kolosal kehidupan yang begitu besarnya. Tentu saja Ego Tuhan bukanlah seperti pemahaman kita pada ego manusia. Ego Tuhan adalah ego yang penuh kasih sayang dan kelembutan.
Ego manusia?
Dari titik mana kita memandang sebuah ego muncul?
Perlukah ego ada dalam kehidupan ini?
Seorang guru ngaji perlu ego. Seorang pimpinan perlu ego. Seorang yang sedang naik mimbar untuk berceramah perlu ego. Menulis artikel juga perlu ego. Untuk jadi imam perlu ego.
Ego itulah yang mendorong seorang manusia untuk bisa berperan sesuai dengan apa peran dia saat itu.
Bila penciptaan alam raya ini perlu ego, timbulnya kehidupan perlu ego dan berjalannya roda perekonomian juga perlu ego, untuk apa ego diruntuhkan? Bisakah ego diruntuhkan?
Banyak sekali yang menggambarkan ego bagaikan sebuah gunung yang sudah menghujam bumi begitu kokohnya. Kemudian dengan asumsi tersebut, ada pendapat bahwa tidaklah mungkin meruntuhkan gunung yang demikian kokoh.
Sebuah pendapat tentu saja muncul karena cara pandang dan pola pikir orang yang mengemukakan pendapat tersebut. Kemudian orang yang mengeluarkan pendapat bahwa tidaklah mungkin ego itu diruntuhkan adalah secara implisit mengatakan bahwa dia juga ketakutan untuk kehilangan egonya. Takut kehilangan pengakuan bahwa dia adalah orang yang merasa lebih untuk mengeluarkan sebuah pendapat.
Menciptakan jembatan untuk memahami ego yang lain adalah alternatif cara pandang yang kemungkinan dapat dilakukan. Namun jembatan yang sudah dibangun tetaplah mendiamkan sebuah gunung itu ada. Nah, kalau gunung itu adalah gunung berapi maka suatu saat ia akan meledak dengan kekuatan yang cukup tinggi.
Meruntuhkan ego bukanlah menghilangkan ego sama sekali. Bila sudah ada gunung yang menghujam bumi begitu kuatnya, bagaimana caranya supaya gunung itu dapat dirontokkan?
Ada dua cara untuk itu!
Yang jelas membangun jembatan adalah menciptakan fatamorgana kerukunan semu! Ia merasa ada kebersamaan yang bersifat sementara. Hal itu karena gunung itu tetap ada. Contohnya? Masyarakat kita yang ada sekarang ini. Gunung itu masih ada dan selau dipupuk ada, kemudian dibangun jembatan komunikasi yang beraneka ragam. Hasilnya? Coba saja sulut dengan api dari salah satu gunung yang ada, dan akan meledak!
Meruntuhkan gunung adalah meruntuhkan pemikiran gunung kita. Ego adalah pemikiran gunung. Kalau ego itu lentur dan tidak kaku seperti gunung, ia akan berlaku seperti ego Tuhan yang maha kasih sayang.
Cara pertama untuk merontokkan gunung ego adalah memberikan stimuli yang aktif kepada gunug. Ini cara yang ekstrem tetapi bisa dilakukan. Berikan stimuli aktif kepada gunung sehingga dia akan bergejolak dan akhirnya meledak.. hancur luluh lantak dan hilang.
Cara kedua adalah mengikisnya pelan-pelan. Ini cara aman dan butuh waktu lama. Kikis terus sampai akhirnya juga habis dan rata dengan tanah.
Cara pertama adalah caranya Al-Hallaj, Sarmad, Siti Jenar. Mereka memberikan stimuli kepada gunung ego diri sehingga akhirnya suatu saat meledak dan hancur melebur dalam ego Tuhan.
Cara kedua adalah caranya Imam Al-Ghazali, Fansuri, Hamka, Omar Khayam. Mereka mengikis habis gunung itu walau perlu waktu dalam perjalanan mereka.

Mereka tidak mengajarkan untuk menciptakan jembatan, karena jembatan hanya akan menciptakan kesemuan dalam ke-aneka ragaman yang ada. Jembatan adalah pola pikir Yunani dimana para filsuf mengenalkan pemikiran untuk tidak menghilangkan ego.
Nabi Muhammad tidak mengenalkan jembatan. Ia tidak mengenalkan perantara tengah antara manusia dan Tuhan. Nabi mengajarkan cara langsung untuk bertemu Tuhan dengan menghilangkan ego manusia, karena hanya dengan hilangnya ego inilah maka ktia dapat dipersilahkan masuk ke singgasana Tuhan.
Ego Tuhan yang maha rahman dan rahim tidak akan cukup untuk ditemui dengan ego kita. Ruangan Tuhan itu sangat sempit sehingga bila kita membawa ego ke sana tidaklah mungkin akan dapat masuk.

MATI DALAM HIDUP

MATI DALAM HIDUP
(meninggalkan dunia)
“Menyelami Quran sebagai kitab basah”




Allah, Tuhan semesta Alam, Zat Yang Maha Benar,
Satu-satunya realita tunggal di alam raya ini,
Memang harus dialami oleh setiap manusia yang merindukanNya,
Allah harus dicicipi, harus disaksikan sendiri oleh manusia untuk dapat mengatakan “tidak ada Tuhan selain Tuhan itu sendiri, penguasa seluruh alam.”

Seorang pecinta tentulah akan mencari yang dicintainya. Seorang pecinta tidak akan puas dengan kata orang lain tentang apa yang dicintainya. Seorang pecinta tidak akan puas tentang diskripsi apa yang dicintainya dari kata orang lain.
Seorang pecinta hanya memikirkan tentang cintanya kepada yang dicintainya, seorang pecinta hanya memikirkan yang dicintainya.

Untuk menyelami sang Cinta, seorang pecinta haruslah mati terlebih dahulu.
Mengapa?
Kehidupan hanyalah akan menjadi belenggu bagi sang pecinta untuk bertemu dengan yang dicintainya.
Ada yang kemudian berargument: “ masalah yang ada adalah anda hanya mencari kebenaran yang relative, bukan kebenaran abadi.”
Seorang pecinta tidak akan peduli dengan ‘relative dan abadi.’ Bagi sang pecinta, sebelum dia bertemu dengan sang cinta, semua yang dilihatnya adalah relative.
Seorang pecinta menyadari bahwa kebenaran itu bersifat relative sepanjang dia masih hidup dan terikat dengan belenggu dunia.
Untuk apa mempermasalahkan relative dan abadi?
Baginya, yang ada hanyalah jalan dan usaha disiplinnya menuju kepada cintanya.
Argument itu datang lagi : “Siapkah anda mati seperti para sufi dan para tokoh besar yang meninggalkan pekerjaan dunia dan segala yang ada untuk Allah?”
Sang pecinta akan lantang mengatakan, “Siapkah anda mengikutiku untuk bertemu dengan cintaku? Akan aku tunjukkan cara matiku untuk cintaku!”

Seorang pecinta melihat jelas bahwa apa yang dilakukan di dunia ini memang hanya untuk yang dicintainya:
(Al-anaam:162): Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
(Al-Anfaal:39): ……..dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah . Jika mereka berhenti , maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
(Al-Baqarah:238): ……Berdirilah untuk Allah dengan khusyu'.
(Al-Baqarah:193): ………ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah…

seorang pecinta akan melihat makna dibalik kata.
Pecinta akan melihat apa yang tersirat dari yang tersurat.
Pecinta melihat wujud dari apa yang tidak berwujud.
Untuk apa meninggallkan pekerjaan kalau tetap memikirkan pekerjaan?
Untuk apa meninggalkan keluarga kalau tetap memikirkan keluarga?
Untuk apa meninggalkan kehidupan dunia kalau tetap memikirkan dunia?
Untuk apa menyendiri kalau yang dipikirkan tetap anak, istri, uang, pekerjaan dan teman atau rencana masa depannya?

Bagi seorang pecinta, meninggalkan semua itu bukanlah mati! Meninggalkan semua kehidupan seperti itu bukanlah mati dalam hidup.
Hal seperti itu hanyalah memindahkan masalah dari masalah yang lain.
Seorang pecinta tetap akan bekarya dalam hidup,
Pecinta akan tetap hidup dalam masyarakat, akan berkeluarga, akan bekerja seperti biasa, sang pecinta tetap akan melakukan aktifitas sehari-hari seperti biasa tanpa direkayasa.

Mati dalam hidup, meninggalkan kehidupan dunia bagi seorang pecinta adalah meninggalkan keterikatan dengan semua yang ada.
Ia bekerja tetapi tidak terikat dengan pekerjaannya.
Ia mempunyai anak tetapi tidak terikat dengan anakknya
Ia berkeluarga tetapi tidak terikat dengan keluarganya.
Ia melakukan semua yang ada tanpa terikat dengan semua yang ada.
Ia hidup tetapi tidak terikat dengan kehidupan itu sendiri.

Seorang pecinta ‘tidak terikat’ bukanlah berarti ‘tidak bertanggung jawab’. Justru ia bertanggung jawab penuh dengan apa yang dijalaninya karena semua itu akan dipertanggung jawabkan kepada cintanya.
Seorang pecinta hanya terikat kepada yang dicintainya.
Karena ia cinta kepada yang mempunyai alam semesta dan kehidupan ini, maka ia berusaha membuat apa yang ada di alam semesta dan kehidupan ini damai, nyaman dan penuh cinta..

Siapkah kita menjadi sang pecinta?
“Aku akan menujumu ya yang Maha Cinta..” kata sang pecinta
“Apa yang sudah kamu lakukan?” Tanya sang Maha Cinta.
“Aku sudah tinggalkan semua, aku sudah tidak terikat dengan semua yang ada.”
“Belum!” kata yang Maha cinta.
“Semua sudah aku tinggalkan! Sudah tidak ada lagi keterikatan dalam hidup ini.”
“Belum!”
“Kalau memang belum, tunjukkanlah padaku apa itu?” kata sang pecinta.
“Akupun harus kamu lepaskan, harus kamu lupakan! Lepaskan keterikatan akan diriku, maka engkau akan menemukan cintaku!”


agung webe

KABAH

KA’BAH





Apakah orang Islam menyembah Kabah?
Apakah orang Islam mentuhankan batu hitam Hajr Aswad?
Mengapa Sholat mesti menghadap Kabah?
Mengapa Haji mesti mengunjungi Kabah dan mengitarinya kemudian mencium Hajr Aswad?

Untuk membahas itu semua kita harus tau bahwa dalam kehidupan ini ada yang kita namakan SIMBOL.
Pertama kali mari kita lihat lagi arti dan makna dari kata ‘simbol’
Mengapa manusia memerlukan symbol dalam agama?
Manusia adalah makhluk materi yang mempunyai badan untuk ber-eksisten di dunia ini. . Karena manusia adalah makhluk materi yang juga mempunyai roh dalam badannya, maka sang roh itu selalu merindukan kepada roh suci, roh murni. Kerinduan terhadap sesuatu yang bersifat abstrak yang tidak dapat dilihat oleh mata fisiknya.
Semua manusia merindukan terhadap kekuatan yang maha tinggi, sesuatu yang maha besar, yang abstrak dan tidak terlihat. Dan hanya dapat dirasakan oleh rasanya melalui kerinduan dan cinta yang dalam.
Melalui perjalanan sejarah perkembangan pengetahuan manusia, berkembang pula pemahaman tentang kerinduan kepada yang abstrak ini. Kita bisa melihat sejarah. Karena pengetahuannya yang terbatas maka kerinduan terhadap kekuatan yang maha besar di terjemahkan oleh manusia awal kepada Pohon-pohon besar, batu besar atau gunung besar. Mereka menganggap bahwa benda-benda mewakili sebuah kekuatan yang tidak dapat mereka lihat.
Sejarah kemudian berkembang. Manusia kemudian beralih kepada Api, matahari atau bulan. Itu mereka anggap lebih mempunyai kekuatan dibanding benda-benda pada awalnya.
Kemudian berkembang lagi pengetahuan manusia yang lebih menyadari bahwa kekuatan yang maha besar itu bukan itu semua. Ada sesuatu yang tidak terlihat di alam dunia ini. Mereka kemudian menciptakan ide para dewa, para penguasa langit dan birokrasi langit untuk mengekspresikan kerinduan terhadap yang abstrak itu.
Setelah pengetahuan berkembang semakin maju, manusia dapat memahami bahwa kekuatan yang maha besar itu memang tidak dapat disamakan oleh apapun yang dapat terlihat di dunia ini. Ini adalah jaman Ibrahim.
Pada tradisi agama timur tengah, Yahudi, Nasrani dan Islam, Ibrahim dikenal sebagai bapak para nabi. Mengapa? Karena Ibrahim adalah awal dari pemahaman dan penyaksian keesaan Tuhan. Dari sinilah perkembangan pemahaman Tuhan yang lebih mendalam dimulai. Ada yang berdebat masalah sejarah Ibrahim. Yang satu bilang bahwa dari tradisi agamanyalah yang benar sejarah itu, yang lain juga demikian.
Kita harus ingat bahwa masing-masing agama mempunyai latar belakang historis dan kebudayaan yang berbeda. Bisa jadi cerita juga berbeda. Namun ada esensi yang sama yang penting sebagai pelajaran bagi manusia-manusia selanjutnya, yaitu Keesaan Tuhan.
Bagi orang-orang dengan kualitas seperti Ibrahim, dimana dia memahami Tuhan dengan sebenar-benarnya, dia tidak memerlukan symbol. Dia dapat dengan mudah berinteraksi dengan Tuhan. Bahkan ketika ada perintah untuk menyembelih anaknya, dia melaksanakan perintah itu dengan ketulusan karena pemahaman Tuhan yang benar. Dan cerita penyembelihan anak oleh Ibrahim yang nyata bagi dirinya adalah sebuah pesan bagi manusia-manusia selanjutnya. Bukan berarti kita juga harus meniru 100% untuk menyembelih anak, tetapi makna dari peristiwa Ibrahim itu yang harus kita pahami.
Dengan kondisi kepasrahan dan kelembutan seorang Ibrahim dan karena Ibrahim orang yang selalu dekat dengan Tuhan, maka dirinya diliputi oleh kasih-sayang. Orang yang telah lembut penuh kasih sayang seperti itu memancarkan getaran atau vibrasi cinta kasih yang dapat mempengaruhi sekelilingnya. Apa yang diperbuat atau dibuatnya akan ter-aliri energi cinta kasih itu.
Ibrahim memahami bahwa manusia-manusia nantinya untuk berhubungan dengan kekuatan yang maha tinggi memerlukan ‘alat bantu’, yaitu symbol. Tentunya bagi orang sekualitas Ibrahim symbol itu tidak perlu lagi, bahkan mereka dapat menciptakan symbol itu sendiri.
Kemudian untuk itu, sebagai tempat mengingat Tuhan, sebagai tempat berefleksi kepada kekuatan yang maha tinggi, Ibrahim membangun Kabah.
Oleh karena Ibrahim adalah orang dengan vibrasi atau getaran cinta kasih yang tinggi, maka vibrasi itu mengalir pula di bangunan Kabah yang dibangun oleh Ibrahim, karena sentuhan lembut Ibrahim.
(Vibrasi atau getaran kelembutan cinta kasih itu tidak akan hilang karena hukum kekekalan energi. Ini berlaku pula kepada setiap bangunan yang dibangun, atau benda yang disentuh oleh orang-orang sekualitas Ibrahim.)
Kabah memancarkan vibrasi cinta kasih yang dipondasikan oleh Ibrahim. Apalagi tempat itu kemudian digunakan oleh orang untuk berdoa kepada Tuhan, energi yang tertimbun semakin besar.
Ibrahim memahami hal ini, walaupun dia bukan dikenal sebagai ahli fisika. Tetapi saya yakin karena kualitas jiwanya, dia memahami hukum-hukum fisika yang kemudian baru dapat dijelaskan dalam fisika modern.
Kabah, sebuah symbol yang diciptakan oleh Ibrahim dengan maksud untuk membangun sebuah pusat energi cinta kasih di kemudian jaman, maka Ibrahim menanamkan sebuah pesan untuk selalu berdoa di kabah. Pesan ini kemudian diikuti oleh orang-orang sejamannya, oleh orang-orang dalam kebudayaannya.
Namun karena perkembangan jaman dan pengaruh dari kebudayaan setempat yang kental, maka tradisi berdoa di sekitar kabah bergeser jauh sampai pada jaman Muhammad. Orang-orang kemudian tidak memahami keesaan Tuhan dan bahkan menaruh banyak patung-patung di kabah. Mereka masih tertarik untuk berdoa di kabah walaupun mempercayai patung-patung karena vibrasi kedamaian yang terpancar dari kabah itu. Mereka mengira bahwa kedamaian dan rasa nyaman yang mereka dapatkan itu adalah dari patung-patung yang ada, padahal dari pengaruh vibrasi kabah yang menyentuh mereka.
Muhammad kemudian mengembalikan tujuan semula orang berdoa di kabah, mengembalikan esensi pemahaman tentang keesaan Tuhan. Jadi benar bahwa yang di bawa nabi Muhammad itu bukan sesuatu yang baru, sama sekali benar! Nabi Muhammad hanya meneruskan pesan-pesan tentang keesaan Tuhan yang telah pula berkali-kali disampaikan oleh nabi-nabi sebelumnya dan selalu di geser pemahamannya oleh orang-orang yang punya kepentingan pribadi pada masa kekuasaannya.
Nabi Muhammad hanya menyesuaikan ajaran itu sesuai dengan budaya setempat supaya dapat dengan mudah dipahami esensi dari ajaran kemuliaan tersebut. Nabi melakukan ‘akulturasi’
Kemudian berdoa bagi orang-orang pengikut Muhammad-pun ditujukan dengan arah kabah sebagai kiblat atau tanda. Hal tersebut adalah untuk menambah vibrasi cinta kasih yang telah dibangun oleh nabi Ibrahim ini.
Apabila ada berjuta orang berdoa atau bertafakur atau sedang berkonsentrasi kepada tuhan dan tertuju ke satu tempat, tempat itu akan menjadi poros energi cinta-kasih dunia. (ini adalah hukum energi yang berlaku di alam semesta, bahwa energi yang dikonsentrasikan ke sebuah tempat, tempat tersebut akan penuh dengan kumpulan energi)
Mungkin hal inilah yang tidak dibeberkan oleh Muhammad, tapi saya yakin bahwa Muhammad-pun memahami fenomena energi ini seperti halnya Ibrahim. Para nabi adalah juga para visioner, mereka juga para scientist alam semesta.

Seseorang yang berada dekat dengan kabah, akan terkontaminasi energi yang ada. Hal inilah yang membantu terjadinya loncatan kesadaran, loncatan quantum dalam pikiran manusia. Mereka akan merasakan keheningan, kedamaian, ketenangan dan merasa dekat dengan tuhan. Merasa dekat dengan tuhan bukan berarti tuhan hanya ada di kabah!
Mereka merasakan seperti itu, merasakan tuhan yang sebenarnya dekat sekali dalam dirinya sendiri yang sebelumnya tidak mereka rasakan, karena terbantu oleh alat Bantu yang dibangun Ibrahim dan diteruskan oleh Muhammad ini.

Lalu mengapa ada hajr aswad?
Jaman dahulu, sebelum orang tahu tentang batu meteor, batu yang jatuh dari langit dianggap batu dari surga. Batu kiriman tuhan dari langit sana.
Batu hajr aswad adalah batu meteorit yang memancarkan vibrasi radioaktif positif yang berguna bagi pikiran manusia.
Peletakan batu itu disana oleh nabi bukan tanpa sebab dan bukan tanpa rencana.
Kabah yang memang dibangun sebagai alat Bantu peningkatan kesadaran manusia, akan lebih memancarkan vibrasi dan pengaruhnya dengan adanya vibrasi dari batu hajr aswad. Perintah untuk mencium batu tersebut juga penuh dengan makna tersirat. Dimana orang yang dekat sekali dengan batu bervibrasi tersebut akan mempunyai pengaruh terhadap sel-sel pikiran yang dapat juga mengakibatkan loncatan kesadaran dalam diri manusia.

Sehingga, orang yang sudah bersentuhan dengan kabah dan hajr aswad, dia akan menjadi manusia dengan kesadaran yang meningkat. Dia akan lebih merasakan kehadiran tuhan dalam hidupnya.
Sekembalinya dia dari kabah, kesadaran itu akan terus dibawanya dalam hidup sehari-hari.

Allah berada di mana-mana, disetiap sudut alam raya. Rumah Allah juga ada di setiap lekuk alam ini. Jadi pergi ke kabah bukan pegi ke satu-satunya rumah Allah. Pemaknaan kalimat “Labaik Allahuma Labaik….” Aku memenuhi panggilanMu ya Allah… juga harus dimaknai lebih dalam dan benar-benar bermakna.
Apakah panggilan Allah hanya pergi ke kabah?
Bukankah setiap kegiatan dan tindak tanduk kita adalah panggilan Allah?
Bukankah setiap gerak kita itu adalah panggilan Allah?

Labaik Allahuma labaik adalah sebuah komitmen.
Kalimat itu bukan kalimat jawaban, namum kalimat penegasan! Penegasan untuk diri sendiri bahwa sekarang seorang manusia telah bersedia untuk menyadari kehadiran Allah dalam hidupnya. Dan dia berupaya dengan cara mendekati alat Bantu kabah tersebut.

Setelah penyadaran itu semua, setelah terjadi loncatan kesadaran dalam dirinya akan kehadiran Allah, maka dia siap mengorkankan egonya. Symbol penyembelihan hewan qurban setelah selesainya haji.

Sekarang seorang manusia yang telah berdekatan dengan alat Bantu untuk meningkatkan kesadarannya dan juga telah bersedia mengorbankan egonya, sekembalinya dari kabah, dia akan menjadi manusia yang baru! Manusia yang benar-benar bersyahadat!

Keberhasilan seorang manusia untuk meningkatkan kesadarannya akan Tuhan, tergantung dengan kesungguhan dan upaya yang dilakukan untuk itu. Termasuk pegi ke kabah, menuntut sebuah pemahaman yang tepat berkaitan dengan cara-cara yang penuh dengan bahasa simbolistik tersebut. Upaya kita untuk memahami hal tersebut adalah upaya kita dalam berusaha meningkatkan kesadaran akan Tuhan dalam diri kita.

Saya akan tegas mengatakan bahwa kita harus berani untuk meruntuhkan dogma2 yang tidak membantu terjadinya peningkatan kesadaran diri. Kalau ada yang alergi dengan bahasa peningkatan kesadaran, ya sinonimnya adalah peningkatan keimanan diri.
Pergi ke kabah bukan memenuhi panggilan Allah!
Mencium hajr aswad bukan karena pahala!
Apabila kita menggunakan tools yang telah direncanakan oleh Ibrahim dan disempurnakan oleh Muhammad ini, maka vibrasi cinta kasih yang ada akan tertular pada iman kita. Loncatan quantum pikiran akan menguatkan iman kita akan kehadiran Allah di mana-mana.

Jadi, apabila anda pergi ke kabah dengan kesadaran untuk mendekati alat Bantu yang dapat membantu terjadinya peningkatan kualiatas iman, dan penyadaran akan kehadiran tuhan, apakah anda masih akan mau pergi ke sana dengan mengeluarkan uang yang begitu besar?
Apakah anda hanya mau kesana dengan mengeluarkan uang yang begitu besar bila alasan satu-satunya adalah ‘panggilan Allah?’

Bila kesadaran anda mendekati hajr aswad dengan bedesak-desakan dan sangat sulit itu adalah untuk mencapai terjadinya tertularnya vibrasi positif dan juga loncatan kesadaran pikiran, apakah anda masih mau melakukannya?
Ataukah anda hanya mau mendekati hajr aswad karena alasan mendapat pahala yang begitu banyak?

Salam
Agung webe

ISLAM

ISLAM



Islam, kata itu kalau diucapkan, apa yang akan tergambar dalam benak seseorang? Bisa jadi padang pasir, Timur Tengah, kubah masjid, Ka’bah, atau bahkan kekerasan. Ya, akar sejarah Islam bisa saja tergambar lewat Ka’bah dan Timur Tengah. Coretan kenangan bisa saja tergambar lewat fundamentalisme dan kekerasannya. Namun, demikiankah Islam itu? Bukankah dalam setiap aliran agama terdapat golongan fundamentalis yang menggunakan jalur kekerasan untuk mengatas namakan ‘penyebaran agama?’
Nabi Muhammad SAW adalah seseorang yang menjadi utusan di antara kaumnya saat itu. Saat itu Jazirah Arab dalam keadaan kacau balau tentang pemahaman ke-Tuhanan dan tindakan anarki. Kebudayaan kaum Quraish yang seharusnya mengikuti ajaran Ibrahim telah disalah gunakan untuk menguntungkan pihak-pihak bangsawan. Ritual Ka’bah dan penyembahan Tuhan telah pula dimanipulasi untuk mendatangkan keuntungan bagi pihak bangsawan Quraish. Namun karena keadaan itu berlangsung selama berpuluh-puluh tahun, maka masyarakat tidak menyadari pembodohan yang terjadi. Mereka merasa nyaman dengan adat dan budaya yang ada. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan telah sesuai dengan perintah Tuhannya. Para petinggi Quraish yang merupakan imam dari masyarakatnya juga sudah merasa mapan dan merasa sudah mempunyai pengaruh terhadap pengikutnya.
Ketika saat tiba munculnya seorang yang namanya Muhammad dan membawa berita baru tentang Tuhan yang Esa, ia merombak segala budaya yang ada, kemapanan yang ada. Otomatis, kemapanan yang sudah dirasakan oleh petinggi Quraish dan masyarakat yang sebenarnya terbelenggu oleh budaya yang keliru ini akan merasakan gerah dengan kedatangan Muhammad. Apalagi Muhammad bukan dari golongan bangsawan, ia hanya keturunan Bani Hasyim. Jelas, saat itu orang akan mencibir apa yang dikemukakannya. “Siapa dia? Darimana dia? Pendidikannya apa? Keturunan siapa? Bukankah dia tidak bisa membaca?”
Bayangkan, kondisi inipun bisa terjadi pada kita pada masa kini. Saat ini kita tengah merasa nyaman dengan ritual yang kita lakukan. Para Kyai dan Uztad juga sudah mapan dengan para pengikutnya. Namun siapa yang bisa menebak bahwa apa yang tengah kita lakukan ini tidak menyimpang? Tentu saja masing-masing Kyai punya dalih dan argumen bahwa yang mereka lakukan telah sesuai dengan sunnah nabi. Keadaan yang sebenarnya sama dengan masyarakat Quraish waktu itu. Lalu saat ada seseorang yang mengabarkan tentang keesaan Allah yang tidak sepaham dengan anggapan masyarakat, kita tentu akan mencapnya sebagai gila dan keluar syariat.
Persis seperti keadaan Nabi waktu itu. Ia dikatakan gila, berpenyakit ayan dan mengada-ada. Bahkan kita bisa bayangkan, apabila kita ada waktu itu. Saat itu kita tengah berada dalam kondisi budaya yang sudah sangat mengakar dalam keseharian kita. Lalu Nabi datang dan menyarankan untuk keluar dari budaya itu. Apa yang akan kita lakukan? Langsung percayakah? Belum tentu.
Nabi Muhammad mengajarkan Islam. Yaitu sebuah sikap pasrah total kepada Allah yang Esa. Waktu itu kaum Arab mengenal banyak Tuhan. Yang paling besar adalah Latta, Metta dan Uzza. Bahkan tuhan-tuhan itu dipatungkan dan di taruh mengitari Ka’bah. Masing-masing suku menyembah tuhannya sendiri-sendiri. Nabi gerah dengan itu semua. Ritual Ka’bah dari nabi Ibrahim telah diselewengkan maknanya. Maka beliau menyerukan, tidak ada Tuhan kecuali Allah!!.
Islam adalah sebuah sikap, sikap pasrah total kepada Allah. Dengan sikap itu terbentuklah akhlak yang rendah hati, saling tolong-menolong dan mendamaikan. Akhirnya akan terwujud sebuah masyarakat atau kehidupan yang madani, sejahtera. Yang diserukan Nabi adalah sebuah ajaran, bukan kelembagaan. Pada masa kehidupan Nabi, beliau tidak bermaksud untuk mendirikan sebuah organisasi atau lembaga. Beliau hanya menyampaikan kabar baik yang mensejahterakan. Beliau adalah saksi Allah dan menyampaikan peringatanNya.
Surat Al-Fath ayat 8-9, Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
Masyarakat Arab yang masih menuruti keinginan dan egonya, diajak untuk mengikuti Allah, untuk tidak menuruti ego diri masing-masing. Memang, karena tatanan kehidupan di Jazirah Arab saat itu tidak ada, maka wahyu-wahyu yang turun kepada Nabi memuat tatanan kehidupan yang sangat lengkap. Dari hubungan dengan tetangga, menikah, bercerai, hukum waris, tata cara perang, berdagang, dan sebagainya semua termuat dalam Al-quran. Semua itu adalah metode untuk melembutkan manusia, untuk memanusiakan manusia. Untuk menghancurkan ego dan memunculkan sifat-sifat Illahi.
Ya, Islam itu sendiri adalah lembut, penuh cinta kasih. Seseorang yang meyakini Allah dan menerapkan sifatNya tentunya akan menjadi lembut dan rendah hati seperti Muhammad. Akhlaknya akan menjadi akhlak yang terpuji dan terpercaya.
Namun, sepeninggal Nabi, Islam mau tidak mau akhirnya terpengaruh dengan politik kekuasaan. Akhirnya terjadilah ekspansi besar-besaran yang mengatas-namakan agama, padahal hanya untuk memperluas hubungan politik kerajaan yang berkuasa. Para pengikut Nabi yang setia yang tidak mau berkompromi dengan kekuasaan akhirnya lari menjauhkan diri dari keramaian. Mereka kemudian dikenal sebagai para Sufi yang kadang dituduh menyebarkan bid’ah dan keluar syariat. Memang seperti itu, sebuah kemapanan akan merasa terancam dengan keadaan orang-orang yang berusaha mengembalikan ajaran kepada kemurniannya.
Islam bukanlah sebuah lembaga, karena ia tidak bisa dilembagakan. Pelembagaan Islam hanyalah akan meng-kerdili dan membatasi ajaran yang mulia ini dengan keterbatasan manusia. Dengan pelembagaan akhirnya manusia akan mengatur, mendikte dan memperkosa ayat-ayat Allah. Ia akan mencari pembenaran dari apa yang ingin diperbuatnya, supaya legal dan mendapat dukungan. Islam adalah jalan satu-satunya untuk menuju kepada Allah. Saya ulangi, jalan satu-satunya! Ya, tidak ada jalan lain di luar Islam!
Ali-Imran (3) ayat 19, Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Islam sebagai ajaran pasrah total kepada Allah adalah jalan menujuNya. Adakah jalan lain menuju Allah kecuali pasrah total kepadaNya? Kalau kita memahami Islam sebagai pasrah total kepada Allah, ya, pasrah total itulah jalan satu-satunya menuju Allah. Kalau kita hanya memahami Islam sebagai lembaga dan organisasi, Islam tidak akan mengantarkan kita kepada Allah. Sebuah lembaga, sebuah organisasi tidak akan menolong kita untuk menuju kepada Allah. Kepasrahan kitalah yang menentukan itu semua. Semua rukun-rukun di dalamnya, kalau itu membentuk sebuah sikap pasrah, akan mengantarkan kita kepadaNya. Namun, apabila kita mengerjakan syariatnya, sholat misal, tetapi tidak membentuk sikap pasrah, Tawadhu, kita harus segera memperbaiki pemahaman kita tentang Islam.
Ali-Imran (3) ayat 85, Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Beberapa orang menggunakan 2 dalil di atas untuk melakukan ekspansi Islam. Bahkan menjadikan Islam seperti gerakan dagang. Mereka akan meng-klaim bahwa orang-orang di luar agama Islam tidak akan diterima oleh Tuhan. Dalilnya jelas,yaitu Ali Imran ayat 19 dan 85 !!
Mari kita berpikiran terbuka dan mencoba untuk bersikap bijaksana. Kita pahami Islam bukan sebagai lembaga atau organisasi. Lembaga, apapun bentukanya tidak akan bisa mengantarkan kita kepada Sang Khalik. Namun tatkala kita memahami Islam sebagai sebuah ajaran kepasrahan total kepada Allah, ya, benar sekali bahwa tidak ada jalan lain menuju Allah kecuali pasrah kepadaNya. Kitapun akan bisa mencerna Ali Imran ayat 85 sebagai berikut, ‘bahwa barang siapa mencari jalan (agama) selain jalan kepasrahan kepada Allah, maka sekali-kali tidak akan diterima daripadanya’....
Juga Ali Imran ayat 19 sebagai berikut, ‘sesungguhnya jalan (agama) di sisi Allah hanyalah pasrah kepadaNya.....”
Bisa saja kita rajin mengerjakan syariat Islam, namun kehidupan kita jauh dari pasrah. Malah mentuhankan uang, kekuasaan, jabatan, pekerjaan, gengsi, pendidikan, atau bahkan pemahaman tentang Islam itu sendiri. Ya, kita bisa menuhankan pemahaman kita, dimana kita menempatkan pemahaman itu sebagai sebuah kebenaran yang tak terbantahkan.
Yang tidak terbantahkan itu hanyalah Allah semata. Dia yang Maha Benar. Kita ini hanya mencoba memahami firmanNya. Perhatikanlah ini, bahwa kita hanya berusaha untuk menafsirkan ayat-ayatNya. Pemahaman kita, tafsir kita, bukanlah kebenaran itu sendiri. Hanya Allah yang Maha Benar dengan segala FirmanNya.
Yang paling tipis yaitu kita telah menuhankan nama Allah itu sendiri. Kita menganggap nama Allah itu Allah, padahal hanya nama. Kita lupa bahwa Allah adalah zat yang Maha Suci. Itu semua bisa dikatakan bahwa kita telah Islam secara lembaga, secara organisasi. Namun, Islam sebagai sebuah ajaran yang selalu diserukan oleh Nabi Muhammad yang mulia belumlah tersentuh oleh orang-orang seperti itu.
Walaupun kita mengaku sudah Islam, sudah menjalankan syariat Islam, sudahkah kepasrahan meliputi seluruh kehidupan kita? Sudahkah kita rendah hati dan saling tolong-menolong tanpa membedakan orang lain? Sudahkah kita mencontoh kehidupan Nabi di Madinah, dimana beliau hidup rukun berdampingan dengan umat dengan kepercayaan lain tanpa membeda-bedakannya?
Memang sulit hal itu kita terapkan, apalagi kalau kemapanan kita terancam, kenyamanan kita selama ini dengan lembaga formal merasa terusik. Apalagi, kita sudah mempunyai apa yang selama ini kita anggap sebagai ‘pengikut’ atau ‘jamaah’. Dengan pengikut kita, jamaah kita, berhati-hatilah karena ‘Ego’ bisa menjadi tuhan kita di sana. Mungkinkah kita akan berlaku seperti kaum Quraish memperlakukan Nabi pada jaman itu? Tentunya tidak bukan?
Marilah kita melihat Islam sebagai sebuah jalan menuju Allah, jalan pasrah yang menghubungkan kita denganNya. Islam sebagai sebuah kepasrahan total kepada Allah yang Maha Esa.
Di sana, kita hanya mengenal cinta, cinta.....dan cinta tanpa pamrih...

Agung webe