Friday, April 20, 2007

TUHANKU BUKAN TUHANKU

Tuhanku bukan Tuhanku




Tuhan??
Ah.. sebagai sebuah istilah kata itu merupakan kata yang biasa saja, karena setiap orang yang menggunakan istilah Tuhan pasti akan teringat dengan sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri.
Dan karena sesuatu itu lebih tinggi daripada dirinya sendiri maka ia tunduk dan hormat kepada hal yang lebih tinggi tersebut.
Apa itu?
Apa saja!
Sesuatu yang menguasai diri dan membelenggu jiwa sehingga jiwa tidak merdeka dan terbudak oleh sesuatu yang dirasai telah dihambai itulah yang dianggap berada lebih tinggi dari dirinya sebagai manusia.
Kita mempunyai sebuah pikiran yang kompleks. Dan ironisnya pikiran kompleks kita itu berkembang. Berkembang tanpa henti sampai pada titik puncaknya yang terlihat dari kacamata manusia sebagai kematian.
Kematian yang bagi manusia adalah berakhirnya fisik di alam raga, ternyata awal dari perjalanan pikiran sebagai rasa bebas dari penjara fisik yang kadang sangat membelenggunya.
Kita tidak merasa?
Tentu saja!
Kita memberlakukan agama sebagai penjara, bukan hal yang membebaskan.
Mengapa kita membicarakan hal seperti ini di alam terbuka bahkan di milis yang bagi sebagian orang terlihat sangat naif?
No guys!
Kita menyadari bahwa alam telah berkembang. Teknologi dengan pesatnya maju dan alam sekarang sudah sangat berbeda dengan alam pada jaman guru2 tasawuf pada jaman dahulu.
Hal tersebut memang hanya tergantung darimana kita memandang....
Ada yang bilang itu basiiii... so what??
Kalau kita mau jujur, bukankah yang diserukan oleh nabi Muhammad itu adalah hal basi?
Basi banget!
Coba tengok! Dari awal beliau berkata yang diserukan adalah Tuhan itu satu. Beliau mengingatkan terus tentang ego diri yang harus dimusnahkan sehingga beliau memberitahu sebuah cara yaitu sholat dan tafakur.
Basi bukan??
Bagi saya hal basi itu bukanlah sesuatu yang membosankan, karena itulah masalah mendasar bagi manusia. Sepanjang hidupnya baliau tidak bosan-bosan mengulang-ulang hal basi tersebut.
Sementara bagi kita hal-hal tersebut adalah basi, bagi seorang nabi memang menyadari bahwa tidak ada yang baru di alam ini. Yang ada adalah mengulang hal yang memang menjebak manusia dalam menyadari realita kebenaran.
Kebenaran yang mana?
Kebenaran itu relatif pak..... dan mungkin apa yang diselami ini bukan kebenaran sejati, tetapi kebenaran semu...
Ya, ketika kita menyadari bahwa pikiran kita selau mengandung unsur dualitas, kita tidak akan memperdebatkan lagi sejati dan semu, karena ada yang lebih penting daripada unsur dualitas tersebut..... yaitu melampaui dualitas pikiran kita selagi kita hidup!
Melampaui dualitas pikiran?
Ada yang alegi dengan istilah melampaui dualitas ini? Ya, istilah yang lain adalah Bersyahadat! Mengapa bersyahadat? Ketika kita berani memahami bahwa tidak ada sesuatu yang lain di alam raya ini selain Tuhan itu sendiri, selesai sudah perdebatan tentang sejati dan semu atas sebuah kebenaran.
Yang terjadi?
Kita tidak berani memahami bahwa Allah-lah yang ada satu-satunya di alam raya ini sehingga kita memunculkan pikiran-pikiran kita sendiri, asumsi kita sendiri, argumen kita sendiri.
Tapi bukankah tulisan ini dibuat atas dasar pemikiran, asumsi dan argumen?
Seratus persen benar!
Yang jadi fokus kita adalah apakah sebuah pemikiran, asumsi dan argumen itu dikeluarkan untuk memaksakan sebuah paham kebenaran atau tidak?
Ketika sebuah tulisan/pemikiran dikeluarkan untuk berbagi, kita masih menyadari adanya dualitas dan kebenaran di seberang sana. Kebenaran dalam diri setiap orang, kebenaran dalam sebuah pemahaman lain.

Perkembangan kesadaran tentang sebuah pemahaman tentang Tuhan, adalah hal unik yang selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu.
Pemahaman Tuhan waktu kita kecil sudah sangat berbeda dengan pemahaman kita tentang Tuhan waktu remaja.
Demikian juga pemahaman waktu remaja sudah sangat berbeda waktu kita bekerja, berkeluarga, banyak belajar, banyak ngaji dan seterusnya....
Sehingga bisa terjadi bahwa pemahaman tentang Tuhan waktu malam ini akan berbeda dengan waktu kita esok hari. Detik ini dengan detik berikutnya...
Tulisan saat ini dengan tulisan berikutnya...
Pemahaman Tuhan adalah pemahaman inkonsistensi..
Pemahaman agama adalah pemahaman inkonsistensi..
Islam adalah inkonsistensi karena dia berkembang terus seiring dengan kesadaran manusia.
Untuk mengimbangi inkonsistensi kesadaran tersebut kemudian ada cara untuk bertafakur, ada cara sholat sehingga bagi sebagian orang inkonsisten tersebut terlihat seperti konsisten. Mengapa? Seperti kalau kita berada dalam pesawat terbang dan tidak merasakan pesawat yang berkecepatan 830km/jam itu.
Karena kita berada dalam alam yang inkonsisten maka ketika kita mengikuti kesadaran yang inkonsisten akan terasa seperti diam saja.
Tuhanku bukanlah Tuhanku.
Ternyata setelah kita menyadari bahwa oh, yang saya kenal sebagai tuhan waktu kecil bukanlah seperti saat sekarang saya memahami Tuhan itu sendiri. Tapi anak kecil tersebut tidaklah salah karena memang proses perjalanan jiwanya untuk sebuah pemahaman sedang dalam perjalanan yang terus berubah.
Ternyata Tuhanpun berubah!
Wow! Jangan gusar dengan itu.
Satu-satunya yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Semuanya sedang berkembang. Apa yang ada di alam raya ini sedang mengalami ekspansi.
Yang ada di alam raya ini termasuk pikiran manusia mengalami ekspansi.
Ketika kita berkata bahwa kita menyatu dengan Tuhan, artinya kita menyatu dalam perubahan itu sendiri.
Kita melebur dalam perubahan alam semesta.
”Kehidupan adalah sebuah perkembangan yang harus diselesaikan, bukan kemapanan yang harus dipertahankan”.... (agung webe)
Tuhanku bukanlah Tuhanku.
Ketika kesadaran itu menyelimuti dalam benak kita, ada satu stimuli yang akan mendorong kita untuk lebih memahami arti kata Tuhan itu sendiri. Ada satu kegusaran yang menyadarkan kita bahwa ekspansi kesadaran dalam pikiran tidak bisa ditunda lagi.
Jadikanlah agama sebagai alat untuk membebaskan jiwa dari belenggu pikiran yang menjadikan kita berhenti dari ekspansi kesadaran.
Mau tetap masak pakai tungku dan arang? Kalau memang memudahkan kita memasak pakai kompor gas dan oven, apa yang salah?
Yang jelas yang menjadikan masalah untuk matangnya sebuah masakan bukanlah alat tungku atau kompor, tetapi rasa panas yang dihasilkan oleh keduanya.
Rasa panas itulah kebenaran yang dipakai oleh tungku dan kompor atau oven. Ketika ia hinggap di tungku kita mengenalnya sebagai tungku. Ketika ia hinggap di kompor kita mengenalnya sebagai kompor. Ketika ia hinggap di oven, kita mengenalnya sebagai oven.
Tuhanku bukanlah Tuhanku.
Ketika rasa Tuhan itu bersemayam dalam setiap jiwa yang berbeda, ia akan mengambil alih wujud yang berbeda dalam pemahaman rasa itu sendiri.
Melebur dalam ekspansi kesadaran adalah menyatu dengan rasa Tuhan, bukan sekedar namaNya atau wujudNya di alam raya ini.
Tuhanku bukanlah Tuhanku bukan bermaksud untuk menyangkal rasa terdalam dari pemahaman tentang Tuhan.. tetapi yang patut kita sangkal dari diri kita adalah ketika kita mati dan berhenti dalam ber-ekspansi memahami Tuhan itu sendiri.
Ekspansi itu akan terus terjadi sepanjang kita belum pulang ke sumber hidup kita. Ekpspansi raga-pikiran-jiwa dan roh adalah perjalanan yang harus kita alami dan sadari dalam melebur dalam satu-satunya yang abadi di dunia ini, yaitu perubahan!


Agung webe

2 comments:

Anonymous said...

luar biasa mas Agung, especially tentang kata2 berkembang. Tuhan tidak pernah stagnan selalu progresif, dan itu semua untuk umat manusia yang DIA kasihi. bayangkan hidup dalam keadaan stagnan, it bored! dan perkembangan progresif yang Tuhan berikan selalu akan membawa manusia lebih mengenal lagi dan lebih sadar lagi tentang kebesaran dan keagungan dan cintaNya pada umat manusia ciptaanNya.yang diperlukan hanya wadah pikiran manusia itu sendiri yang mau berkembang secara progresif.

Anonymous said...

luar biasa! hanya itu yang bisa saya berikan untuk anda mas agung webe. selamat atas gagasan yang indah ini! luar biasa!