Friday, April 20, 2007

NABI 2

NABI – 2




Para nabi yang pernah ada, tidak satupun yang pernah menulis kitab sucinya sendiri.
Tidak ada satu nabi-pun yang menulis sendiri wahyu yang pernah diterimanya.
Mengapa?
Kitab-kitab suci yang pernah ada itu ditulis oleh orang-orang dekatnya atau sahabat-sahabatnya. Dan itu terjadi setelah sekian tahun sang nabi wafat.
Apakah para nabi itu memang tidak menginginkan pelembagaan ajarannya?
Apakah para nabi itu tidak ingin ajarannya menjadi sebuah dogma?
Apa yang sebenarnya diinginkan oleh para nabi itu?

Yang jelas yang diinginkan oleh para nabi itu tidak sama dengan keinginan kita.
Mungkin sederhana saja dari sekian banyak wahyu yang turun dan ditangkap oleh para nabi itu, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akherat.
Lantas,
Kita menginginkan apa? Banyak! Banyak banget! Seabrek-abrek! Sampai kita sendiri pusing dengan keinginan yang kita tafsirkan dari wahyu-wahyu yang diterima oleh para nabi itu.
Mungkin salah satunya adalah ingin menambah banyak umat yang kita anggap seumat dengan kita. Kita ingin mengatakan kebenaran sebenar-benarnya dari sudut kita sendiri yang kita anggap itu pahit bagi orang lain, tapi itulah kebenaran kita.
Dan itu terjadi dari orang-orang yang menafsirkan Taurat, Zabur, Injil dan Al-Quran. Kita sama-sama berlomba-lomba untuk menarik umat sebanyak-banyaknya.
Kemudian masing-masing dari kita memasang strategi perang baik dari segi intelektual, promosi-propaganda, tafsir ayat dan dialog antar agama.
Apakah dunia yang kita huni ini semakin nyaman? Semakin tenteram?
Apakah kita berani berpikir:
Bila seluruh manusia di dunia ini semua memeluk Islam, apakah kemudian akan menjadi aman tentram dan damai? Demikian juga bila seluruh manusia di dunia ini memeluk katolik atau yahudi?

Lalu, dengan tidak menulisnya para nabi atas wahyu yang diterimanya sendiri itu, apakah sang nabi menginginkan sebuah keseragaman di dunia?
Apa yang akan disampaikan oleh sang nabi tentang ini?
Mungkin ini adalah bagian yang kita lupakan. Kita lupa bertanya kepada sang nabi, kepada orang yang mempunyai hak mutlak atas wahyunya tersebut.
Kita lupa membawa master key dan memaksa masuk wilayah yang kita tidak tahu kemudian mengacak-acak bahkan memperkosanya!

Dan inilah kebenaran yang pahit terdengar. Walaupun pahit dan getir, sebuah kebenaran haruslah dikumandangkan. (meminjam ungkapan pak Budi)
“Ketika seorang Nabi mewartakan wahyu yang diterimanya, sang nabi tidak pernah menyuruh untuk mengabadikan dalam bentuk tulisan.”
Tidak ada nabi yang membuat bukunya sendiri.
Jadi karena saya menulis buku, artinya saya bukan nabi, he he he.. wua ha ha ha..

Atau kalau jaman nabi sudah ada milis dan sang nabi mewartakan wahyunya lewat internet dan ternyata panjang lebar bahkan bahasanya yang sangat sastra dan kiasan sekali. Kemudian mungkin akan dikomentari oleh pak Farhad dan disimpulkan menjadi satu atau dua kata saja oleh pak Farhad karena beliau ahli dalam menarik kesimpulan.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Memilah kelompok yang adakah? Itu orientalis, itu liberal, itu ahlusunnah, ini syiah, itu sunni, itu sinkretisme, itu tasawuf bidah…..
Atau tanggung jawab kita untuk memurnikan agama yang sudah diselewengkan?
Dan juga tanggung jawab kita untuk melindungi iman Islam dari serangan virus-virus aqidah yang mencoba memutar balikkan sejarah?
Atau jangan-jangan virus itu adalah kita sendiri?
Kita akan menjadi virus ketika kita merasa benar dengan penafsiran kita sendiri. Dan berucap kepada orang lain : “Ini sudah janji Allah dalam surat ini ayat sekian… “
Ya… mungkin satu orang melihat penafsiran itu demikian dan orang lain melihat penafsiran lain lagi.

Kalau sang nabi masih ada, kita tentu dapat bertanya langsung padanya, “Mengapa tidak kau tuliskan sendiri wahyu2 itu berikut dengan tafsirnya ya Nabi?”
Mungkin jawaban ngawurnya demikian,
“Aku tidak mau menjadi penulis karena royaltinya sedikit…..”
Sang Nabi tidak ada urusannya dengan tulis menulis. Wahyu itu mengalir begitu saja melalui dirinya. Beliau menangkap sinyal itu ketika menghadapi situasi dan masalah yang ada.
Atau ketika sebuah kitab suci ditulis oleh para sahabat seorang nabi menjadi sedih? Mengapa sedih? Karena yang keluar dari mulut nabi itu adalah penafsiran nabi atas getaran Allah. Getaran yang tidak mempunyai bahasa seperti bahasa manusia. Getaran Allah yang masuk ke dalam hati nabi dan menyebabkan nabi memahami sesuatu.
Karena nabi harus mengatakan kepada yang lain maka keluarlah susunan kata-kata yang mencoba menjelaskan getaran yang ditangkapnya itu.

Apakah apa yang ditangkap oleh Nabi itu persis kata-katanya seperti dalam kitab suci itu? demikian adanya?
Apakah sebuah getaran Illahi mempunyai susunan kata dalam bahasa manusia?

Sang nabi tidak menuliskan sendiri apa yang diwahyukan karena kita tidak siap dengan sebuah kebenaran. Nabi mengetahui bahwa faktanya manusia itu tidak akan siap dengan warta kebenaran yang gamblang dan jelas. Makanya segala sesuatunya masih ditaruh dalam perumpamaan, dalam cerita, dalam ayat yang penuh makna.

Kita tidak siap dengan sebuah kebenaran, makanya kita menutupinya dengan alibi dan argumen-argumen kita sendiri.
Kita senang berargument dengan pembenaran ayat ataupun hadist nabi. Kita sedang ber-hipotesa tentang sebuah kebenaran. Kita kadang mengatakan, “Ini bukan hipotesa, tapi kebenaran akan wahyu Allah?.... ya, disisi lain kita mengakui bahwa kebenaran mutlak hanya milik Allah. Lantas kita tidak mau dikatakan sedang ber-hipotesa??
Kalau kita mengakui bahwa realita tunggal itu hanya Allah semata, maka apa yang sedang kita jalani ini? Bentuk apakah kehidupan ini?

Mungkin alasan itulah sang Nabi tidak menuliskan sendiri wahyu yang diterimanya.
Karena….. beliau juga sedang ber-hipotesa dengan apa yang diwahyukan Allah padanya.
Bedanya dengan kita?
Sang nabi ber-hipotesa tentang realita tunggal…. Kita ber-hipotesa tentang sebuah hipotesa yang sudah ada.
Mengapa kita melakukan itu?
Karena kita senang berkutat di alam intelek, kita senang memuaskan ego dengan alibi dan argument….. sehingga kita lupa menyelami sang realita, kita lupa bertemu dengan sang maha benar… kita lupa mencicipi cinta sejati dan sang pemberi cinta.

Salam
Agung webe

1 comment:

nur-eqaim said...

hehehehe...aneh bin ajaib bila seorang nabi tidak menuliskan ajarannya...quran telah tertulis sejak nabi saw diutus sebagai seorang nabi, dan beliau saw sendirilah yang menetapkan ayat yang turun diletakkan dibagian mana...
nabi saw juga sendirilah yang menamai setiap surat yang turun,dan mengatur suatu ayat terletak atau tersimpan pada barisan mana dia didendangkan dan dilantunkan sehingga tercipta susunan nada yang sangat merdu nan menghiasi hati setiap pembacanya yang tak lekang oleh waktu dan zaman...
jadi quran itu sendiri dalam penamaan surat dan penyisipan ayat tidak disusun oleh manusia biasa...tapi didelegasikan oleh Allah melalui nabi-Nya....