Friday, April 20, 2007

PERMAINAN

PERMAINAN - ILUSI



Sungguh,untuk menyadari ke-dualitasan dalam pandangan akan sangat terasa sulit sekali. Apalagi kita hidup dalam dualitas itu sendiri. Sesuatu yang sulit dilakukan untuk menyadari keberadaan kita karena kita berada dalam keberadaan itu sendiri.
Seperti cerita ikan yang selalu mencari air padahal ia hidup dalam air. Ikan berada dalam air tetapi tidak menyadari keberadaanya sendiri seperti apa.
....... Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Al-Baqarah- 255)
Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (An-Nisaa - 126)

Dualiatas adalah anggapan. Dualitas adalah pandangan. Dualitas adalah hijab. Hijab inilah yang harus kita buka melalui usaha-usaha, melalui doa, melalui tindakan pendekatan kepada Allah.
Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. (Fushshilat - 54)
Ada yang ragu terhadap pertemuan dengan Tuhan. Keraguan adalah dualitas. Dualitas inilah yang menyebabkan rasa keterpisahan- rasa jauh dari Allah. Padahal jelas-jelas diingatkan bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Maha meliputi, bukan sekedar meliputi, tetapi Maha Meliputi. Dengan menembus rasa dualitas diri, rasa keterpisahan diri, kalau Allah Maha Meliputi segala sesuatu di jagad raya ini, artinya kita hidup dalam Allah itu sendiri. kita berada dalam keberadaan yang menyebabkan kita hidup. Itulah sumber kehidupan manusia dan makhluk yang ada. Kita berada di dalam keberadaan Allah.
Lalu dualitas itu berkembang dalam diri manusia yang menyebabkan terjadinya pandangan ganda. Ada panas tentu ada dingin. Ada gelap tentu ada terang. Ada sakit tentu ada sembuh. Ada tinggi tentu ada pendek. Ada kuat tentu ada lemah. Ada baik tentu ada jahat. Begitu seterusnya.
Karena dunia ini adalah alam dualitas, maka tentunya kita tidak bisa melepaskannya begitu saja. Kita hidup dalam dualitas, maka kita mengalami dualitas itu. Ada kaya tentu ada miskin. Ada dermawan tentu ada pelit. Ada kyai tentu ada penjahat. Inilah alam dualitas.
Tatkala dualitas itu membungkus manusia dan menyebabkan apa yang ia pandang sebagai sebuah kebenaran, ia akan menjadi ilusi. Ilusi inilah yang kadang mengatakan bahwa hidup ini adalah nyata. Hidup ini adalah real dan benar-benar terjadi. Karena ilusi itu, kebanyakan manusia kurang bisa percaya adanya akhirat, adanya tempat kebahagaiaan kekal abadi tiada tara. Hidup ya dunia ini katanya.
Ilusi itu, dualitas itu yang menjadikan sebuah penilaian lahir dari diri manusia tentang KAFIR dan BERIMAN. Satu pihak mendualitaskan KAFIR kepada pihak lain. Satu pihak mendualitaskan BERIMAN kepada golongan tertentu.
Manusia sampai di sini terjebak dengan ilusi diri tentang pandangan dualitas!
Pernah juga dalam sebuah tulisan-tulisan saya, seseorang mengatakan kepada saya, “Pak, bapak inikan bukan ahli tafsir. Mengapa menafsirkan Quran semaunya sendiri. Ada caranya sendiri menafsirkan Quran. Bapak bukan ahli Quran.”
Betul, saya bukan ahli tafsir. Saya juga bukan ahli Quran. Saya tidak hendak menafsirkan sesuatu. Saya juga tidak akan meng-ahli-kan sesuatu. Yang saya lakukan adalah ‘penyelaman’. Menyelami untuk diri saya sendiri. Kalau kemudian saya menemukan mutiara yang bisa menentramkan-mendamaikan- dan juga menjernihakan untuk diri saya sendiri, tidak ada salahnya kemudian kalau saya sharing.
Dalam tulisan saya yang berjudul Quran, penyelaman kepada Quran adalah harusnya bisa menjadikan Quran sebagai rahmat bagi seluruh alam, bagi siapa saja. tidak milik orang tertentu dan ahli tertentu. Quran ada untuk seluruh umat manusia dan alam semesta.
Kembali kepada dualitas.
Dualitas hadir untuk menggulirkan kehidupan. Coba bayangkan dunia tanpa dualitas. Tidak ada sakit-tidak ada sembuh. Tidak ada panas-tidak ada dingin. Tidak ada gelap-tidak ada terang. Tentu bukan dunia ini lagi. Itulah alam tanpa dualitas. Alam ketuhanan dan didalamnya Allah berkehendak atas dirinya sendiri. Itulah alam penyatuan. Alam satu yang didalamnya tidak ada perbandingan.
Dikarenakan dualitas maka timbullah permainan dan sandiwara dalam kehidupan. Skenario sudah ditulis oleh Yang Maha Kuasa. Kita tinggal menjalaninya dengan penuh kesadaran dan iman.
Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala keppadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu. (Muhammad - 36).
Kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Itulah gelombang dari dualitas. Dalam permainan tentu ada penilaian. Dalam sandiwara tentu ada baik-buruk, ada salah-benar. Juga ada dosa-pahala.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (Al-Hadiid - 20).
Peringatan untuk manusia sudah sangat jelas bahwa dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Dalam tulisan saya, ALLAH dan EGO, banyak tindakan kita yang muncul oleh karena untuk menyenangkan ego. Ego kita puas karena sudah bisa memperingatkan orang yang kita anggap kafir. Ego kita puas karena kita menganggap sudah bisa membela agama. Apa yang kita lakukan menimbulkan kesenangan yang menipu. Tetapi kitapun akhirnya menipu diri sendiri dengan mengatakan, bahwa kita ikhlas karena Allah, kita berjuang untuk Allah.
Sedikit sekali yang berani mengakui bahwa itu adalah sebuah pembenaran.
Rasa ikhlas-tanpa pamrih, kalau itu benar-benar terjadi, tidak akan keluar dari perkataan. Apa yang keluar dari perkataan hanyalah rasa pembenaran dari kekuarangan kita karena anggapan yang ditimbulkan oleh rasa dualitas itu.
Secara psikologis, kita sering mengucapkan kata yang secara implisit merupakan pengakuan kita. Namun itu tidak terasakan.
Permainan dunia, apapun peran yang kita dapatkan memang harus kita mainkan sebaik-baiknya. Harus kita selesaikan cerita ini. Kita memainkan cerita ini dengan penuh rasa Iman dan Taqwa.
Apakah kita pernah berpikir bahwa seorang pemain sandiwara memprotes skenario dari sutradara? Dalam setengah permainannya, si pemain sudah bertanya, “Mengapa saya harus melakukan ini dalam cerita ini? Mengapa harus si A yang mati? Mengapa bukan daerah ini yang kena Bom?”
Apakah si pemain pikir dia lebih tahu daripada penulis skenario? Apakah sipemain lebih tahu daripada sutradara? Tidak bukan. Tugas seorang pemain adalah memainkan skenario dengan sebaik-baiknya, karena sang Sutradaralah yang memimpin sandiawara itu.
Dalam permainan sandiwara, seorang pemain harus mengesampingkan rasa dualitas. Dia harus berbakti kepada sutradara untuk bisa menyelesaikan sandiwara itu. Berbaktinya pemain kepada sutradara adalah Taqwa. Menjalani skenario dengan penuh ikhlas adalah Iman.
Dengan penuh kesadaran sebagai manusia yang juga notabene makhluk mulia. Marilah kita menyadari setiap detik dan jengkal bahwa kehidupan ini adalah ilusi, adalah maya yang harus kita lampaui sehingga yang kita temukan bukan kehidupan dunia melainkan keabadian kekal di sisi Allah.
Illusi kita adalah ilusi ikan yang mencari air. Dualitas dalam diri ikan menyebabkan ikan tidak menyadari keberadaan air yang meliputinya. Ikan terus mencari air. Akhirnya, karena ajakan kelinci yang berada di darat, ikan melompat ke darat untuk melihat air.
Ikan melepaskan diri dari kehidupannya, dari keberadaan yang meliputinya selama ini. Ikan mati karena itu. Ikan mati karena ingin melihat air yang selama ini tidak disadarinya. Walaupun sebenarnya ikan sendiri tidak pernah lepas dari sebuah keberadaan. Ia melompat dari keberadaan air menuju keberadaan udara. Ikan tidak akan pernah bisa lepas dari keberadaan yang meliputinya, dimana saja ia berada.
Masihkah kita seperti ikan? Mencari sesuatu yang sebenarnya meliputi kita? Rasa pencarian itulah ilusi terbesar manusia.

Agung webe

No comments: